Kamis, Juli 31, 2025

STANZA DOKTER MAHESA: Trilogi Dalam Satu Disertasi Berani

Must Read

OPINI – PAKAR HUKUM KONSTITUSI | VISIBANGSA.COM – Saat itu, musim haji tahun 2019. Dokter Mahesa berdiri di tengah ribuan jemaah yang berdesakan, di suhu 47 derajat, menyaksikan tubuh renta terguling dari kursi roda di antara lantunan takbir dan sirine ambulans. Di lengannya masih menempel gelang identitas medis, di dadanya terselip catatan status jemaah—tekanan darah tinggi, lemah jantung, risiko stroke. Ia bukan hanya dokter. Ia prajurit tanpa senjata. Imam tanpa mimbar. Birokrat tanpa perlindungan.

Tak ada pengawal hukum, tak ada jaminan keselamatan. Seragam putihnya disamak matahari dan dibasahi peluh amal. Ia bisa syahid di tanah suci—tanpa negara sempat mencatatkan gugurnya. Ia bisa saja digugat atau bahkan dipidana jika keputusan klinisnya tak sesuai protokol medis rumah sakit Indonesia, apalagi ia bertugas di medan ekstrem Arab Saudi yang tak mengenal SK Menkes, apalagi Peraturan Menteri Kesehatan.

Mahesa, Dokter Haji Indonesia, berdiri di wilayah abu-abu hukum. Bukan karena ia lalai, tapi karena regulasi belum ramai pasal perlindungan. Masih sunyi. UU Kesehayan 2009, maupun UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tak mengatur kesehatan lintas negara. Konon pula melindungi dokter di aras kesehatan lintas negara. Bahkan kesehatan perkotaan pun tiada.

Menurut nalar hukum, tak patut ada penugasan negara kepada tenaga kesehatan tanpa perlindungan hukum secukupnya. Dia dan akal budinya menyimpan azam perlindungan tenaga kesehahan. Menggali etika kedokteran-cum-kesehatan, jauh mendalam sampai ke Maqasid al Syariah.

Jamak tahun kemudian.
Kamis, 24 Juli 2025. Pagi itu langit Ciputat mendung. Tapi di dalam Auditorium Prof.Dr. Suwito, MA., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cahaya pengetahuan terang. Sanggup membuat sunyi ruangan seperti tanpa suara sinar matahari menembus kabut haramain: Makkah-Madinah.

Hari itu, saya tak dirundung mendung puisi bulan Juli. Semangat jihad menebar dan hadir dalam ujian terbuka promosi Doktor seorang kawan karib. Dia yang sekaligus dokter dan pemikir beraliran tenang namun bermazbab tajam: Dr. Mahesa Paranadipa Maikel.

Dia bukan hanya seorang dokter yang adalah lulusan dokter klinisi, tapi juga aktivis kesehatan. Pendidik juncto intelektual organik lulusan universitas kehidupan dengan mazhab akademisi publik yang mampu menyulam hijau-hitam. Menjadi biru laut –ciri kedalaman ilmu– seperti cover ringkasan disertasinya.

Bahkan dia sempat birokrat, menjadi direksi Rumah Sakit Haji Jakarta, dan kini pengawal kebijakan pada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kini dia pejabat publik. Walau tepatnya: intelektual publik sang pengawal hak publik di ruang publik untuk jaminan kesehatan publik. Bukan industri kesehatan seperti sisipan bahkan susupan kepentingan dalam konsideran UU Kesehatan 2023

Pada separo hari itu pula —resmi Dr. Mahesa yang biasa akrab dipanggil Echa, diijazahkan negara menjadi doktor ke 1628 bidang ilmu agama dan kesehatan. Sah. Halal. Tanpa gugatan! Jelas dengan disertasi yang mencengangkan: “Model Perlindungan Hukum Petugas Kesehatan Haji Indonesia di Arab Saudi”. Judul yang lintas negara, lintas disiplin, lintas profesi, lintas regulasi, lintas UU, lintas penguji; namun satu kepentingan yang bertumpu Maqasid al Syariah: tata kelola haji yang terbaik. Bukan hanya sekadar baik-baik saja.

Kata satu pengujinya, ini sebuah topik yang tak lazim, tapi justru karena itu—menjadi luar biasa. Bagai zat organik yang bisa diserap menyehatkan beleids negara: kebijakan publik. Satu dokter Echa bisa menggabungkan trio disiplin. Dalam satu kajian interdisipliner: hukum positif, ilmu kesehatan dan Maqasid al-Syariah. Dalam satu nama tiga kata: Mahesa. Paranadipa. Maikel. Dalam satu sebutan berarti dan berjiwa: Intelektual Publik Organik.

Alhasil disertasi itu judul yang panjang namun yang lebih panjang dari judul itu, adalah pergumulan bulevard pikirannya yang berani. Ia tidak sekadar mengkaji hukum sebagai norma di atas kitab UU. Tidak pula cuma ilmu kesehatan sebagai prosedur tata laksana.

Ia menganyam keduanya dengan benang yang lima: Maqasid al-Syariah—tujuan luhur syariat—dalam sulaman tri matra: hukum nasional, etika profesi, dan relasi bilateral antarnegara.

Ketahuilah, ada lima prinsip utama Maqashid al-Syariah yang menjadi landasan dalam menentukan hukum-hukum Islam, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan dasar manusia dan memastikan keadilan. Dalam hal ini keadilan kesehatan dan kesehahan berkeadilan.

Dari studinya, disertasi Dr. dr. Mahesa Paranadipa Maikel, MH.Kes., MARS menyarankan satu hal manunggal: perlindungan jamaah haji tidak cukup dengan niat baik dan logistik semata namun harus ada sistem hukum yang adaptif, preventif, dan tanggap. Dan, membangun sistem itu harus merangkul hukum nasional, Maqasid al-Syariah, kode etik profesi, serta berakrab-akrab a.k.a karib dengan pacu jalur diplomasi bilateral dengan Kerajaan Arab Saudi.

Kalau nanti akan ada Kementerian Haji dan Umroh, kudu ada lebih awal kompilasi hukum perlindungan petugas kesehatan haji Indonesia. Mungkin saja itu satu-satunya di dunia. Kelembagaan (structure) dan substansi aturan (substante) adalah karib menjadi satu sistem hukum bersama budaya hukum (legal culture), itu ajaran sistem hukum Pak Friedman.

Pribadi Dr. dr. Mahesa Paranadipa Maikel, MH.Kes., MARS itu sosok yang tak biasa menuding, tapi jawaban tangkasnya di mimbar ujian promosi itu menggugat secara akademik soal penting ini: “tugas negara dan pelayanan kesehatan tanpa menegasikan perlindungan profesi dalam konteks lintas yurisdikasi”. Yang tidak opsional. Tidak musiman. Tidak hanya nota kesepahaman administratif. Tapi model perlindungan hukum yang holistik dan interdisioliner.

Kiranya, itu gugatan atau lunaknya gugahan yang tepat dan akurat. Walau dia tetap kalem dan acap melempar mata yang tersenyum, yang memenuhi ciri seirang pemimpin. Tak salah saya memanggilnya adinda ‘Chief Mahesa‘.

Tak pernah amba menengok Echa yang saya kenal menunjukkan rasa imarah, entah tatkala dia memimpin delegasi demonstrasi RUU Kesehatan. Pastinya tidak tergoda panik tatkala tegak di mimbar menjadi saksi fakta uji materil UU Praktek Kedokteran (2017) menjawab tudingan subyektif se-sepihak di meja seberang mimbarnya.

Kisah panjang jejak kedokteran haji Chief Mahesa bersimpul erat bagai satu Stanza; bahwa dokter bukan hanya orang baik yang pakar kedokteran seperti ungkapan pipuler dari Ron Paterson, namun tesis amba: negarawan yang pakar kedokteran dalam bakti kesehatan bangsa dan negara. Dalil itu tak hanya ada (being), tapi nyata (reality) dan eksisten (existency).

Majelis Pembaca. Sebelum menuliskan Stanza Dokter Mahesa ini saya mencerna lagi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Kesehatan yang tak menyebut sama sekali upaya kesehatan lintas negara apalagi upaya kesehatan haji. Pasal 22 bicara bencana dan emergensi kesehatan, tapi tak menjamah perlindungan jamaah dan petugas kesehatan haji yang bisa terjadi, rentan berulang setiap musim berganti.

Bahkan, walau dokter itu profesi mendunia-cum-mulia karena acap terbang ke misi kemanusiaan lintas negara: Palestina-Gaza, pun bencana alam jiran negara ASEAN.

Postulat saya, dokter yang mempunyai misi dokter tanggap darurat bencana lintas negara, perlu regulasi kedokteran lintas negara.

Mengapa kesehatan haji yang jelas-jelas berskala transnasional dan skala “kolosal” pun extravaganza belum punya landasan serupa?

Lebih dari itu, Mahesa mengajak mata hati melihat kenyataan di lapangan: 64% jamaah haji Indonesia adalah lansia. Banyak dengan komorbid: hipertensi, diabetes, jantung, hingga gangguan pernapasan. Dalam istilah fikih: istitho’ah—kemampuan fisik—tak lagi bisa ditakar sekadar mampu berjalan. Ia harus diukur dengan pendekatan medis, etik, dan spiritual yang terintegrasi. Yang kudu dijaga, diperiksa, diedukasi dini semenjak daftar pertama dan membayar cicilan pertama. Bukan sontak menjelang berangkat saja.

Dari Novelty ke Regulasi

Saya tidak tiba UIN Syahid lebih awal. Saya menerobos ke baris depan untuk mendengar hujjah akademik Mahesa yang berpeci bludru hitam, tegak di mimbar memberi tangap-jawaban elegan depan penguji promosinya.

Mata saya menerobos ruangan. Di barisan depan, terlihat wajah-wajah yang membuat saya mengangguk dalam hati: ini bukan sekadar prosesi akademik, tapi pertemuan gagasan lintas generasi, lintas profesi, lintas komunitas.

Saya bersalaman karib dengan Prof. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K)—mantan Ketua Umum PP IDAI, yang pernah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), pejuang hak anak yang kini tetap bersinar dengan ketenangan khas guru besar. Di sebelah sana duduk dr. Zainal Abidin, SH, MH, mantan Ketua Umum PB IDI yang saya kenal sebagai tokoh pengusung kedaulatan kesehatan kala menjadi orang nomor satu PB IDI. Juga hadir dr.Nirwan Satria, Sp.An., dr. Fakhrurrozi, sejawat Mahesa di PB IDI dan MHKI. Ada juga apoteker Amir Hamzah Pane, aktifis MHKI Muhammad Padeli dan sejumlah kawan dokter.

Mereka datang bukan karena undangan formal belaka, tapi karena merasa ikut memiliki perjuangan intelektual publik organik sang dokter Echa.

Dia kritisi fakta dan realita. Dari ringkasan disertasinya, dia memajang info kasus penutupan sepihak Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) musim haji 2025.

Juga, masalah teknis medis lintas negara dan lintas kuasa yang ditulis dokter Echa dengan “dilema etik dan yuridis“, antara menyelamatkan jamaah yang kolaps dengan tindakan medis langsung atau menunggu ambulans resmi Saudi yang perlu waktu lama.

Soal dan dilema bahkan trilema harus dijawab cepat dalam tindakan dan regulasi lintas negara. Yang ada akar strukturalnya, yang kata Echa karena: “Ketiadaan perjanjian bilateral antara Indonesia dan Arab Sudi yang secara khusus melindungi petugas haji lintas sektor, termasuk petugas kesehatan”. Terlebih lagi, petugas kesehatan tak hanya dokter. Walau dokter garda terdepan dan sudah pula ada UU Kesehatan 2023.

“Kalau semua dokter kita punya semangat hukum seperti Mahesa, maka novelty disertasi diadopsi ke regulasi” bisik amba dalam hati, “mungkin sengketa medis tak akan jadi luka nasional setiap musim haji.”

Saya mengangguk pelan. Di depan, Mahesa masih berdiri. Mempresentasikan risetnya dengan nada lirih tapi tertata dan berpola konsisten seperti jamaah di Masjidil Haram setakat usai azan. Seolah ia tidak sekadar menjelaskan temuan akademis tapi menyampaikan tanggung jawab moral kepada negara dan agama serta profesinya. Yang dibimbing ajaran Maqasid al Syariah: menjaga agama atau hifz al-din, menjaga jiwa atau hifz al-nafs, menjaga akal atau hifz al-aql, menjaga keturunan atau hifz al-nasl, dan menjaga harta atau hifz al-mal.

Menerobos Jalan Sunyi

Dalam disertasinya, Mahesa mengurai kenyataan: bahwa 1.800 petugas kesehatan haji Indonesia diberangkatkan tiap musim haji. Ada ribuan petugas mulia bekerja dalam kondisi tak biasa; bisa kadangkala ekstrem, dalam cuaca, dengan jumlah jamaah yang sangat banyak, dengan beban medis yang luar biasa beraneka ragam, namun nyaris sunyi dalam model perlindungan hukum formal petugas kesehatan haji saat bertugas di luar negeri.

Terlebih lagi dokter yang rentan dengan jabatan profesinya. Legal formalnya. Standar kompetensi dan Path Way pelayanannya. Juga sumpah dokter dan etika profesi yang tidak bisa ditanggalkan dalam praktik kedokteran di lintas negara.

Ia tak hanya menggugah ikhtiar giat negara. Seperti halnya dokter sang profesi penolong (helping profession), dia malah menyusun solusi, mendokterkan situasi emergensi. Yakni mengajukan regulasi tripartit antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan Kementerian Luar Negeri diajukannya sebagai jalan keluar.

Alhasil, dia dokter yang tak bisa diam, namun dokter yang menerobos jalan sunyi. Mengakhiri sunyi regulasi dengan disertasi yang berani. “Karena negara harus hadir bagi mereka yang menjaga nyawa jamaah,” katanya maju tak gentar.

Dia bukan mewakili profesi dokter semata. Ia mewakili nurani bangsa. Dan ia menuliskannya dalam bahasa hukum yang sahih, dalam struktur akademik yang rapi, dan dengan semangat pelayanan kesehatan yang bersih dari kepentingan.

Singkat Bisikan Dalam

Setelah prosesi akademik usai dan para tamu mulai bersiap bubar, saya mendekatinya. Ambil pose untuk beberapa foto dokumentasi. Mahesa berdiri di antara bunga ucapan dan peluk bahagia keluarganya. Ia tersenyum, tapi lelah tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Seorang doktor sejati memang melahirkan karyanya dengan rasa sakit dan cinta.

Saya menjabat tangannya dan berbisik perlahan: “Boleh juga jadi nanti seorang dokter menjadi Menteri Haji…”

Mahesa tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kulum—senyum orang yang tahu bahwa jabatan bukan tujuan, tapi alat. Ia tak menanggapi dengan politik atau diplomasi. Tapi saya tahu, dalam dadanya, mungkin kalimat saya tak sepenuhnya lelucon.

Sebab memang, jika suatu hari Indonesia butuh menteri yang paham integrasi pelayanan ibadah dan kesehatan, maka Mahesa adalah salah satu nama yang layak disebut dari pembacaan algoritma publik.

Solmisasi Regulasi

Disertasinya bukan sekadar karya akademik. Ia adalah draft awal regulasi negara. Tentang bagaimana negara wajib hadir untuk melindungi tenaga medisnya di luar negeri. Tentang bagaimana istitha’ah bukan hanya syarat haji, tapi juga syarat negara menjadi negara yang benar.

Mahesa mengusulkan perlindungan hukum dokter, bukan karena mengabaikan profesi lain, tapi karena regulasi praktik kedokteran sudah tersedia. Ia ingin memberi landasan legal-formal agar dokter tidak menjadi tumbal apabila terjadi sengketa di luar negeri.

Bayangkan, bagaimana jika seorang dokter haji dituduh malpraktik oleh otoritas Saudi, tanpa bantuan hukum yang jelas dari negara? Tanpa perlindungan diplomatik? Tanpa pengacara? Tanpa mekanisme etik. Tanpa komite medik. Tanpa Early Warning System terpadu. Apalagi pejabat tinggi kesehatan dilanda sunyi. Itu tragedi diam yang sedang ia cegah sekuat akal budi. Menjadi solmisaai perlindungan petugas kesehatan haji.

Stanza Mahesa=Puisi Petugas Kesehatan Haji

Jika hidup adalah puisi, maka Mahesa adalah sebuah stanza penting. Tidak ramai, tidak panjang, tapi bermakna dalam. Ia menulis bukan hanya dengan pena, tapi juga dengan keberanian.

Di tengah banjir disertasi yang biasa-biasa saja, Mahesa memilih jalan yang tidak populer, tapi strategis: membela mereka yang membela. Melindungi yang menjaga kesehatan jamaah haji. Dia adalah solusi atas doa minta berkah kesehatan.

Ia tidak mengejar gelar. Ia membangun sistem. Dan mungkin kelak bahkan segera, negara akan membaca novelty disertasinya. Andai kata ketika sengketa kesehatan haji pecah, dan tak ada regulasi untuk membela petugasnya, maka halaman-halaman karyanya akan menjadi cahaya penuntun.

Epilog:

Di luar auditorium, hujan tak jadi turun. Awan dan udara tidak basah. Tapi saya melangkah dengan derap lebih hangat, sebab hari itu saya menyaksikan sesuatu yang jarang: disertasi berani yang bukan hanya akademik, tapi juga elegan dan strategi kebangsaan, dan menajak negara hadir melindungi petugas kesehatan haji di lintas negara.

Dr. Mahesa telah menulis stanza. Kini giliran negara untuk mendengarnya dan membuat “puisi” regulasi perlindungan petugas kesehatan haji ke dalam amandemen UU Penyelenggatan Haji dan Umroh.

Dan seperti saya bisikkan pagi itu, boleh jadi nanti, Mahesa bukan sekadar dokter. Tapi penjaga nilai. Penulis aturan. Dan, siapa tahu— membuat sendiri dan menandatangani sendiri peraturan yang lahir dari disertasinya yang berani membela petugas kesehatan haji Indonesia di jagat Saudi Arabia. Tabik..!

| Penulis – Adv. Muhammad JONI, Founder Perhimpunan Profesi Hukum dan Kesehatan Indonesia, Ketua bidang Hukum PP IPHI, Sekjen PP IKA USU

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

Al Midadul Ulama : Ayat-Ayat Langit Gurindam Barus

OPINI - PAKAR HUKUM KONSTITUSI | VISIBANGSA.COM - Dengan Bismillah. Kemarin amba bersua Ketua Umum Majelis Adat Budaya Pasisi...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img