More

    PULAU BUKAN KERTAS..! Jangan Pindah Minus Sejarah dan Jiwa Bangsa

    OPINI Adv. Muhammad Joni SH.MH. – PAKAR HUKUM KONSTITUSI | VISIBANGSA.COM – Empat pulau itu tidak pernah minta lahir di perbatasan. Tapi mereka lahir di sana — dan bertumbuh bersama jejak kaki nelayan, suara adzan, dan deru angin laut yang membawa kisah tentang Aceh. Lalu, suatu pagi, dengan goresan birokrasi dan selembar peta administratif, mereka diubah: tidak lagi Aceh, tapi masuk ke Sumatera Utara. Bukan oleh senjata. Tapi oleh penggaris.

    Inilah tragedi administratif yang menyimpan bara hukum — dan memantik satu pertanyaan besar: bisakah eksistensi masyarakat, sejarah, dan hukum adat disingkirkan hanya dengan selembar dokumen negara?

    Bukan Pulau Kertas

    Empat pulau itu bukan sekadar pulau kertas yang bisa dipotong dan ditempel ulang oleh tangan-tangan dingin di ruang tata batas. Mereka adalah tempat hidup manusia, ada sejarah sosial dan hukum adat yang tumbuh di atasnya. Di sanalah hidup volksgeist, semangat rakyat yang oleh Von Savigny diyakini sebagai sumber hukum sejati. Dan ketika hukum tercerabut dari jiwanya, ia tinggal jadi teks mati.

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 1/PUU-VIII/2010 — sebagaimana dikaji mendalam oleh Mexsasai Indra — menjadi tonggak penting dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah administratif. Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa batas wilayah bukan sekadar soal garis, tetapi menyangkut kejelasan identitas masyarakat hukum adat, keterikatan historis, dan asas kepastian hukum.

    Gagal Data, Gagal Hati

    Kisah ini bermula dari gagal administrasi, dan yang lebih parah: gagal hati nurani. Negara gagal membaca peta hidup masyarakat, lalu menyusun batas dengan mata rabun. Kegagalan data bukan sekadar teknis, tapi mengakibatkan trauma hukum: penduduk merasa tercerabut, dipindahkan, tanpa pernah dimintai suara.

    Kebijakan yang diputuskan tanpa asas kehati-hatian (prudence) dan tanpa konfirmasi partisipatif dari rakyat, telah mencederai asas kepastian hukum. Padahal dalam teori administrasi modern, semua tindakan pemerintahan harus berdasar pada data valid, aspirasi masyarakat, dan prinsip due process.

    Koreksi Konstitusional: Pulang ke Aceh

    Ketika akhirnya empat pulau itu “dikembalikan” ke Aceh, ini bukan sekadar revisi dokumen. Ini adalah pengakuan negara atas kekeliruan administratif dan sekaligus penghormatan terhadap jiwa hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini adalah remedial justice, keadilan pemulihan yang harusnya jadi napas dari semua kebijakan publik.

    Putusan MK membuka pintu bahwa sengketa batas wilayah administratif tidak boleh dimaknai sebagai semata-mata pertarungan birokrasi, tapi harus diletakkan dalam konteks hak asasi masyarakat untuk diakui sejarahnya, budayanya, dan asal muasalnya.

    Epilog: Hukum Tak Boleh Tumpul di Peta

    Empat pulau itu akhirnya pulang. Tapi luka hukum tetap menganga: berapa banyak lagi kampung yang bisa digeser hanya karena salah input di komputer GIS? Berapa banyak lagi masyarakat yang akan jadi korban dari peta yang dibuat tanpa nurani?

    Negara harus ingat: hukum bukan sekadar peta, bukan garis, bukan koordinat. Hukum adalah napas rakyat, dan ketika garis batas mengabaikan jiwa masyarakat, maka yang terkoyak bukan hanya wilayah — tapi martabat hukum itu sendiri.

    spot_img

    Latest articles

    Related articles

    spot_img