OPINI EKONOMI POLITIK | VISIBANGSA.COM – Ada ironi yang menyesakkan dada di tengah gegap gempita kemerdekaan yang sudah berumur delapan dekade. Setelah 80 tahun lepas dari cengkeraman kolonialisme, negeri ini justru membuka pintu bagi orang asing untuk memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebuah kebijakan yang terasa seperti langkah mundur jauh ke masa silam—seolah sejarah perjuangan berdarah-darah bangsa ini untuk merebut kedaulatan ekonomi dan politik tak lagi bermakna.
Bukankah setelah proklamasi dikumandangkan, salah satu langkah strategis para pendiri bangsa adalah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing—dari pertambangan, minyak, perkebunan, hingga perbankan—sebagai simbol bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri? Itu bukan semata langkah ekonomi, tapi pernyataan politik: inilah bangsa yang berdaulat atas tanah airnya sendiri.
Kini, dengan alasan “profesionalisme” dan “efisiensi,” kursi-kursi penting di BUMN justru bisa diserahkan kepada ekspatriat. Alasannya sederhana namun menyakitkan: konon anak bangsa belum cukup mampu memimpin perusahaan kelas dunia. Pernyataan itu seperti gema dari masa kolonial, ketika rakyat pribumi hanya dianggap cocok sebagai pekerja kasar, buruh rendahan, dan jongos di negerinya sendiri.
Padahal, dari Sabang sampai Merauke, jutaan rakyat negeri ini telah membuktikan ketangguhannya. Ada insinyur, ekonom, manajer, dan akademisi kelas dunia—tetapi semua itu seolah tak cukup untuk meyakinkan bangsanya sendiri. Mereka masih dipandang seperti zaman kolonial dulu, hanya cocok untuk kelas buruh rendahan oleh bangsanya sendiri.
Inilah kolonialisme gaya baru: bukan lagi melalui senjata, melainkan lewat mentalitas inferior yang mengagungkan orang asing dan meremehkan potensi anak negeri.
Ironi ini tak berhenti di dunia ekonomi. Dalam olahraga pun pola yang sama terjadi. Lihatlah lapangan hijau ketika tim nasional bertanding di panggung dunia. Rakyat pribumi bersorak penuh semangat di tribun dan depan layar kaca, sementara pelatihnya orang asing, sebagian pemainnya naturalisasi, dan strategi permainannya pun diatur oleh otak dari luar negeri. Rakyat kembali menjadi penonton—memberi semangat, tapi tak pernah benar-benar memegang kendali.
Begitulah wajah ekonomi kita hari ini. Di atas kertas, BUMN adalah simbol kedaulatan ekonomi bangsa. Namun dalam praktiknya, tangan-tangan asing kembali memegang kendali arah dan keputusan strategis. Mereka datang dengan label “ahli,” “profesional,” dan “netral,” tetapi tanpa jaminan sedikit pun bahwa mereka memiliki jiwa nasionalisme atau kesetiaan kepada merah putih.
Sebuah bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya alam semata, melainkan bangsa yang percaya pada dirinya sendiri. Saat kita menyerahkan kepemimpinan ekonomi strategis kepada orang asing, yang sesungguhnya kita jual bukan hanya posisi dan jabatan—melainkan harga diri dan kedaulatan bangsa.
Dan jika kelak para “profesional asing” itu ternyata hanyalah perpanjangan tangan kepentingan global yang ingin menguasai aset-aset bangsa, maka habislah kita. Kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata tinggal jadi slogan kosong.
Sementara itu, rakyat pribumi akan terus memenuhi tribun sejarah, menjadi penonton setia di negeri sendiri—menyaksikan bangsa ini kalah dalam pertandingan besar ekonomi dunia. Bedanya, kali ini tak ada sorak-sorai, hanya keheningan panjang dan penyesalan yang tak berujung. | Penulis Host JUST TALKS Jurnal Politik TV



