Kamis, Juli 31, 2025

Membaca Natsir : “NOBLESSE OBLIGE”

Must Read

“Pak, selama mendalami tulisan Mohammad Natsir, apa yang berkesan, atau apa yang membuat Bapak ‘agak gimana’ gitu?” tanya anak laki-lakiku sore itu.
“Agak gimana, Cemana maksudmu, Ray?” tanyaku balik.
“Ya, agak, maaf Pak, merasa minder, atau kalau boleh dibilang…, terasa bodoh, gitu Pak?” tegas anakku
Aku senyum memandang wajah anakku.
“Jujur Ray, semakin banyak membaca karya Moh. Natsir yang ada pada koleksi buku dan majalah serta manuskrip, bapakmu ini merasa minder. Dan, kau betul Nak, ada saat bapak merasa bodoh, saat membaca beberapa karya Pak Natsir itu,” terangku.
“Saat seperti apa itu, Pak?” tanyanya lagi.
“Saat bertemu beberapa istilah yang tidak bapak pahami! Dan itu ada beberapa kali,”terangku.
“Oh ya! Contohnya, Pak?” tanya anakku.
Aku kembali tersenyum.


Pertanyaan anakku yang menyebutku ‘merasa bodoh’ memang benar adanya. Perasaan bodoh itu muncul saat kutemukan istilah yang tak kupahami. Dan setidaknya, ada tiga bacaanku terhadap pikiran Natsir yang mengandung istilah² seperti itu. Ketiga istilah asing yang kutemui itu adalah: Quod licet bovi non licet Jovi, dan Noblesse Oblige, serta Modus Vivendi.

“Pak, bisa Bapak terangkan sama aku ketiga istilah yang Bapak sebut tadi itu?” tanya anakku.
“Insyaallah bisa. Tapi, kali ini satu istilah saja dulu, ya Ray?” tanyaku.
“Baik, Pak. Noblesse oblige, ya Pak!” pintanya.


Noblesse oblige“, kata orang. Dan, “Ketinggian tempat, menambah kewajiban”!, adalah kalimat dua terakhir yang sekaligus penutup ucapan Mohammad Natsir saat memberi Kuliah Umum di hadapan para Civitas Academica Institut Pertanian Bogor (IPB), yang diselenggarakan pada bulan Mei tahun 1973. Aku, yang saat membaca pidato yang dibukukan itu, sedang duduk di bangku kelas 2 SMP, sungguh tak paham. Tapi aku menikmati isinya. Hingga saat aku mulai kuliah dan sering ikuti forum diskusi dengan kawan² di kampus, serta punya akses ke perpustakaan kampus, aku mulai paham maksud sejatinya dari apa yang diucapkan oleh Moh. Natsir.


“Pertanyaan pentingnya adalah, mengapa Mohammad Natsir mengemukakan istilah Noblesse Oblige itu, Pak,” tanya anakku.
“Betul kau Ray!” balasku.
“Jadi, Pak?” tanya anakku.
“Ya, tahun itu adalah awal-awal tahun perombakan total sistem politik dari rezim orde lama ke orde baru. Dan hal itu disampaikan langsung oleh Presiden. Natsir menyitir: Arah yang hendak kita tempuh, telah ditegaskan pula oleh Presiden Suharto… bahwa : ‘Kita harus membangun kehidupan bangsa dengan cara-cara yang dewasa, yang tidak digoncangkan lagi, oleh krisis demi krisis Jalan ke arah itu ditunjukkan oleh UUD ialah dengan menumbuhkan demokrasi: memperkuat kehidupan konstitusionil, dan menegakkan hukum, yang pada waktu, itu sangat diabaikan.’

Natsir menyebut bahwa langkah yang ditekadkan oleh Pemerintah tepat sekali, yakni apabila Presiden Suharto menempatkan usaha menumbuhkan demokrasi di depan sekali. Karena iklim kehidupan yang demokratis yang terus tumbuh itulah yang bisa menjamin tumbuhnya kehidupan konstitusionil dan kedaulatan hukum.


“Tapi semata-mata itu tidak cukup, Ray?”tegasku memecah keheningan anak laki²ku yang tampak serius mendengarkan.
“Ya. Dan ini pula yang diingatkan oleh Natsir bahwa: ‘Satu sistim kenegaraan yang demokratis hanya dapat ditegakkan atas prasarana mental, atas satu way of life yang menganut nilai² demokrasi. Dan ditegakkan dengan cara² yang sesuai dengan nilai² demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak dapat ditegakkan dengan cara² diktatur dengan alat² diktatur,’ Ray!”
“Artinya, di tahun-tahun awal pertumbuhan dan tegaknya orde baru itu, Moh. Natsir sudah mengirim sign kepada penguasa tentang penumbuhan demokrasi yang baik di negeri ini. Begitu, ya Pak?” tanya anakku. Kuanggukkan kepalaku.


“Tapi, apa ujungnya, Ray? Kalimat Natsir sekaligus catatan penting tentang penumbuhan demokrasi, yakni, ‘Juga orde-baru tidak dapat ditegakkan dengan cara-cara yang dipakai orde lama, justru terjadi. Selama 32 tahun memimpin dan berkuasa, terlalu banyak catatan pelanggaran kehidupan demokratis yang tergelar di zaman yang disebut orde baru itu, Ray!” tegasku.

Anakku semakin serius.
“Lantas dimana peran dari dua kata Noblesse Oblige itu, Pak?” tanya Rayhan.
“Nah, pertanyaan ini yang Bapak tunggu!” balasku.


Noblesse oblige disederhanakan oleh Natsir sebagai “Ketinggian tempat, menambah kewajiban!” frasa yang sejatinya adalah kata benda yang berasal dari Bahasa Perancis –salah satu bahasa yang dikuasai baik oleh Moh. Natsir itu, secara harfiah bermakna “bangsawan mewajibkan”. Dalam artian umum, kedua kata yang terhubung ini dipahami sebagai, “kewajiban berperilaku terhormat, murah hati, dan tanggung jawab yang dikaitkan dengan pangkat atau kelahiran yang tinggi.” Dalam perspektif itu, memaknai tanggung jawab sebagai kewajiban bagi siapa pun yang punya tempat. Semakin tinggi tempat berpijak, semakin besar tanggung jawab yang melekat padanya.
“Jadi, seperti apa hubungannya itu, Pak?” tanya anakku.
Aku menarik nafas agak dalam.
“Moh. Natsir melihat dalam perspektif negara, karena diawali dengan tekad Presiden yang ingin menumbuhkan demokrasi. Karenanya, setiap warga negara dengan tempat dan kedudukannya sendiri, apalagi pemimpin, punya tangung jawab bagi tumbuh subur dan sehat demokrasi di Indonesia. Sejak saat tekad itu diucapkan!” tegasku.
“Warga negara atau masyarakat dimana posisinya dalam hal ini, Pak,” tanya anakku lagi
“Rey, perhatikan apa yang disebutkan oleh Moh. Natsir ini: ‘Zaman beredar, cara tehnik bisa berobah dengan perobahan ruang dan waktu. Tetapi prinsipnya tetap, ialah: masyarakat yang diridhai Allah adalah masyarakat terbuka (open society) dapat berkembang dan memperoleh saluran sebagaimana mestinya (trias politica).’ Natsir membincangkan tentang open society. Apa kau tak curiga?” jelas dan tanyaku.
“Maksud Bapak open society yang dimaksud oleh Pak Natsir itu ada hubungnnya dengan open society yang dibahas oleh filsuf Karl R. Popper dalam The Open Society and Its Enemies, Pak?”tanya anakku
“Bisa jadi. Buku Popper itu terbit perdana tahun 1945, sementara Moh. Natsir sampaikan hal itu tahun ’73. Itu artinya, hampir 30 tahun sebelumnya. Ingat apa yang disampaikan Anwar Ibrahim tentang buku Mohammed and Charlemagne karya Henri Pirenne! Nah, dalam Open Society ini, ternyata poin² yang disebutkan oleh Moh. Natsir beririsan dengan keterangan Popper. Tapi sudahlah, itu bab nanti saja kita diskusikan. Saat ini fokus pada tanggung jawab warga negara dan pemimpin sebagai wujud dari Noblesse oblige itu,” terangku.
Anak laki-lakiku menganggukkan kepalanya.

Aku kembali mengajak anak laki²-ku ini berdiskusi.
“Ray, Noblesse oblige bagi masyarakat pada masyarakat terbuka itu berbentuk social support dan social control,” terangku.
“Maksudnya, Pak?” tanya anakku.
“Natsir menyebutkan: ‘Dalam rangka yang lebih luas, dalam hidup bernegara, disebut-sebut apa yang dinamakan social support dan social control, yakni ada sokongan masyarakat dan ada pengawasan masyarakat. Dalam rangka inilah, pengawasan itu tidak otomatis harus diartikan penentangan untuk penantangan. Dengan lain perkataan: social control adalah pada hakekatnya social support. Tegor sapa adalah bantuan!’ kata Natsir,” terangku
Anakku semakin tampak bersemangat.
“Dan, suatu masyarakat yang membisu lantaran dirundung ketakutan atau kelesuan, bukanlah satu landasan yang cukup kuat untuk pembinaan bangsa dan negara, tegas Natsir!” tambahku.
“Berarti, Pak Natsir mau bilang bahwa, …” kalimat anakku terhenti.
“Ya, beliau ingin tegaskan bahwa: ‘Berbahagialah suatu masyarakat dimana terdapat ruangan terbuka bagi berlakunya tegor sapa, berlakunya ‘amar ma’ruf’ nahi mungkar timbal balik, berdasarkan rasa tanggung jawab sosial yang hidup pada tiap² anggota masyarakat itu, diliputi oleh rasa persaudaraan, dan penghormatan atas martabat pribadi satu sama lain.’ Sungguh ungkapan yang indah,” tegasku.


“Selanjutnya, bagaimana dengan pemimpin, Pak?” tanya anakku
“Bagus. Pertama, harus disadari bahwa semua kita dalam hal ini pribadi dalam warga negara adalah pemimpin. Namun, pemimpin dalam konteks ini, adalah makna kedua, pemimpin dalam arti pemimpin negara dan pemimpin organ-organ atau lembaga-lembaga negara. Tanggung jawab dalam menjamin tumbuh subur dan sehatnya demokrasi itu, menurut Natsir: ‘tidak akan berhasil, bila kita serahkan kepada tindakan-tindakan dan perlembagaan formil administratif, eksekutif, ataupun judikatif semata-mata.’ Ray!” terangku
“Lalu harus seperti apa, Pak?” tanya anakku.
Kutatap wajah anakku yang tampak mulai lelah itu.
Noblesse Oblige bagi terwujudnya negara suatu negara yang demokrasinya tumbuh baik dan benar yang ditopang oleh struktur kenegaraan yang berlainan dengan diktatur itu, oligarki dalam istilah hari ini, menurut Moh. Natsir, dapat disimpulkan dalam satu paragraf sederhana,” tegasku.
“Apa itu, Pak?” tanya anakku.
Kembali kutarik nafas dalam-dalam.
“Katanya, ‘ia berkehendak kepada satu regenerasi proses, dalam sikap jiwa, dalam mental attitude, yang mengendalikan langkah² dan tindak tanduk kita, sebagai perseorangan atau sebagai masyarakat, sebagai penguasa atau sebagai rakyat biasa!’ kata Natsir,” tandasku.

Kulepaskan nafas agak panjang. Dan kulihat anak laki²-ku itu tersenyum.
“Tapi, Pak?” tiba-tiba anakku berkata.
“Apa lagi, Ray?” tanyaku.
“Bagaimana dengan kondisi saat ini? Saat para Wakil Menteri merangkap jabatan sebagai Komisaris² dan sejenisnya pada BUMN²? Dimana Noblesse Oblige-nya itu, Pak?” tanya anakku.
Kutatap wajah anakku dengan senyum tersisa. Dan aku pun, hanya bisa diam. |

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Al Midadul Ulama : Ayat-Ayat Langit Gurindam Barus

OPINI - PAKAR HUKUM KONSTITUSI | VISIBANGSA.COM - Dengan Bismillah. Kemarin amba bersua Ketua Umum Majelis Adat Budaya Pasisi...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img