Minggu, Desember 7, 2025

KETIKA KAMPUS LUPA CERMIN : Demokrasi Cacat di Jantung Masyarakat Akademis

Must Read

Ada yang ganjil di balik hiruk-pikuk dunia akademik kita. Kampus, tempat akal sehat seharusnya bersemayam, kini justru meniru panggung politik yang bising, penuh intrik dan transaksi. Keganjilan itu justru terjadi dalam proses pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara.

OPINI POLITIK PENDIDDIKAN | VISIBANGSA.COM – Publik dikejutkan ketika Romo Raden Muhammad Syafi’i, tokoh nasional sekaligus pimpinan Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (USU), menyerukan agar Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi turun tangan atas dugaan kecurangan dalam pemilihan rektor di almamaternya sendiri.

Seruan itu terdengar keras — bahkan getir. Sebab, jarang seorang alumni berbicara sejujur itu kepada rumah intelektual yang dicintainya. “Menteri harus segera mengambil alih. Ini bukan sekadar intervensi, tapi penyelamatan. Jika dibiarkan, USU akan kehilangan kredibilitas dan kepercayaan publik,” tegas Romo Syafi’i yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Agama.

Ia menyebut ada indikasi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) — istilah yang biasanya kita dengar dalam kontestasi politik nasional. Ironinya, kini istilah itu masuk ke kampus, lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir moralitas publik.


Cermin Retak Demokrasi Akademik

Apa yang terjadi di Medan, Sumatera Utara bukan kasus tunggal. Ia adalah potret kecil dari krisis besar di tubuh universitas negeri: demokrasi kampus yang kehilangan jiwa etik.

Pemilihan rektor, yang mestinya menjadi ajang adu gagasan, kini berubah menjadi arena perebutan kekuasaan. Transaksi dukungan, permainan jaringan, dan kalkulasi politik internal maupun eksternal seolah menjadi “ilmu baru” dalam manajemen akademik.

Padahal, universitas bukan pasar kekuasaan. Ia adalah mercusuar peradaban — tempat generasi belajar bukan hanya ilmu, tapi juga kejujuran dan integritas.

Maka pertanyaannya menusuk: Bagaimana kampus bisa melahirkan pemimpin berintegritas jika tata kelolanya sendiri cacat etika?
Bagaimana seorang rektor bisa menjadi simbol keteladanan jika lahir dari proses curang?

Romo Syafi’i mengingatkan, “Rektor yang lahir dari proses cacat akan membawa luka legitimasi yang panjang.” Luka itu bukan hanya pada nama universitas, tapi juga pada setiap mahasiswa yang tumbuh dalam atmosfer kepura-puraan moral.

Menyelamatkan Martabat Akademik

USU kini berdiri di persimpangan: membiarkan luka itu menganga, atau berani memulihkannya.

Jalan satu-satunya adalah membatalkan hasil penyaringan, menjatuhkan sanksi etik, dan memulai ulang proses yang transparan serta akuntabel.

Langkah ini bukan bentuk intervensi politik, melainkan penyelamatan moral akademik.

Kampus harus menjadi ruang terbuka tempat kejujuran diuji, bukan disembunyikan. Jika dunia akademik ikut terjangkit virus ambisi dan tipu daya, maka bangsa ini sedang kehilangan benteng terakhirnya: rasionalitas dan nurani.

Kita semua berhak bertanya — dan pertanyaan itu menampar nurani siapa pun yang mencintai dunia pendidikan: Apakah para akademisi di USU sedang mengajarkan masyarakat, cara curang berdemokrasi?
Atau mereka sedang berbagi pengalaman tentang bagaimana meraih kekuasaan dengan cara licik?



Universitas tentu saja bukan tempat merebut kuasa, melainkan tempat belajar menjaga martabat bangsa. Jika kampus pun mulai berpolitik kotor, maka di mana lagi rakyat bisa belajar kejujuran? | Penulis Host JUST TALKS Jurnal Politik TV

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

SOAL PAJAK BERKEADILAN : Pemerintah Zalim Jika Abaikan Fatwa MUI

NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan mendapat sambutan hangat dari...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img