visibangsa.com | Hari ini, kuajak ngobrol² anak perempuanku yang sudah mulai menikmati proses kuliahnya. Topiknya enteng pada awalnya, tapi berubah berat, saat ia ajukan pertanyaan itu. Pertanyaan tentang Pancasila.
“Pak, hari ini Bapak mau ulas pikiran Mohammad Natsir yang mana?”tanyanya.
Tampaknya anakku itu mengikuti apa yang kutulis di media sosial hampir sebulan ini.
“Oh, ya. Seperti biasa tulisan dan atau pidato beliau di suatu tempat. Kali ini tentang MORAL DAN AGAMA,”jawabku.
Anakku mulai serius. Ia mendekat.
“Pak, dari beberapa buku yang kubaca tentang sejarah dan politik di Indonesia, kok Islam dan ummatnya sering kali, bahkan selalu dihadapkan pada negara, setidaknya kekuasaan?”tanya anakku.
Aku terdiam.
“Anakku kok serius betul mikirnya”pikirku.
Aku tetap berusaha tenang.
“Maksudnya Islam dan umatnya dihadapkan kepada Penguasa itu, bagaimana?”pancingku.
“Ya, itu Pak. Tertuduh berbuat setidaknya punya motif melawan negara atau penguasa,”jawabnya.
“Bisa diperjelas?”kejarku.
“Dulu, zaman Bung Karno Islam dan umat Islam dihadapkan dengan penguasa dengan cap SUBVERSIF dan KONTRA REVOLUSI. Dan sekarang, ISLAM dan umat Islam dicap Garis Keras, Kelompok Radikal, bahkan TERORIS. Oh, ya kalok zaman Pak Harto, Cemana Pak?”tanya anak perempuanku.
“Ya, mirip²-lah. Di zaman itu, ISLAM DAN UMMATNYA DIBENTURKAN DENGAN PANCASILA!”tegasku.
“Maksudnya, Pak?”tanyanya.
“Sebutannya, Anti-Pancasia. Dan korbannya, banyak sekali. Nah, untuk itulah tulisan tentang pikiran Moh. Natsir hari ini Bapak tulis!”terangku.
Memang, dalam buku tipis berjudul MORAL DAN AGAMA yang diterbitkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, buku yang diangkat dari ceramahnya di Masjid Arief Rahman di hadapan para Mubaligh se-Jakarta, Natsir menulis:
“Risalah yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad saw., ialah meletakkan dasar tentang budi pekerti yang mulia, makarimal akhlaq. Dalam bahasa yang sering dipergunakan sehari-hari disebutkan morality. Morality itu ialah satu ukuran untuk menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Yang diperlukan tentang morality itu bukanlah ilmunya saja, jangan hanya sekedar ditarok-tarok saja, jangan relatif. Tetapi, jang penting ialah nilai²-nya, yang menurut term sekarang dinamakan sila.”
Selanjutnya, seperti apa dan bagaimana Morality yang memiliki nilai² tidak relatif itu, Natsir menyebut praktik zaman Orde Lama, saat Presiden Soekarno berkuasa. Katanya,
“Sebagai contoh kita sebut saja dulu umpamanya sila demokrasi dalam Pancasila. Indonesia diproklamirkan atas dasar Pancasila, salah satu diantaranya silanya itu ialah demokrasi. Salah satu tujuan kemerdekaan Negara kita ialah untuk menegakkan demokrasi, yang didengung²-kan ke telinga kita sejak di zaman kolonial. Sebagai bekas “anak jajahan” saya masih mengalami berkumandangnya semboyan tersebut. Demokrasi itu dianggap sebagai satu tempat bergantung. Oleh sebab itu, maka dalam mukaddimah Undang-undang Dasar negara kita yang telah merdeka itu dirumuskanlah demokrasi itu sebagai salah satu diantara lima silanya. Tetapi, setelah Sukarno dahulu berkuasa, maka Pancasila itu dipakainya menjadi landasan untuk mengeterapkan diktatur, dan diberinya dengan nama demokrasi terpimpin. Bisa saja! Diberinya definisinya tentang pengertian demokrasi itu yang bisa diulur-ulur (rekbaar), yang bisa dipanjangkan dan bisa pula dipendekkan. Padahal, semestinya kita harus mempunyai nilai² yang tidak relatif tentang pengertian demokrasi itu, yang dapat diartikan semau²-nya saja oleh seseorang, apalagi kalau dia sedang berkuasa “
Atas kemungkinan terjadinya penyimpangan itu, menurut Natsir diperlukan moral force.
“Dasar² dan nilai² yang absolut itu memerlukan moral force, kekuatan moral, dalam pribadi seseorang, untuk berkorban mencapai apa yang baik itu.”
Apa yang disampaikan oleh Moh. Natsir adalah respons atas kebijakan penguasa Orde Baru yang “memaksakan” penafsiran tunggal atas Pancasila. Awal tahun ’70-an adalah masa dimana stabilitas politik dalam bentuk upaya massive propaganda Pancasila sedemikian hebatnya. Sebagai orang terlibat langsung dalam sidang² Konstituante yang membincangkan Pancasila diantaranya, Natsir “mencium” upaya serius penafsiran dan langkah yang menyimpang dari semangat awal kedudukan Pancasila. Apatah lagi terlihat upaya membenturkan Pancasila dengan Agama, Islam khususnya. Untuk itu, ia menulis,
“Pada waktu ini, sudah mulai timbul anggapan sebagian orang bahwa Agama itu tidak penting. Dapat saja ditukar dengan rumusan² lain. Untuk menjadikan manusia² Indonesia yang baik, demikian alam pikiran mereka, cukuplah kita mengajarkan kepada anak² dan generasi kita yang baik² itu saja, seperti yang disebut dalam moral Pancasila. Jadi, di sekolah², sejak dari Sekolah Rakyat sampai ke Perguruan Tinggi tidak perlu lagi diajarkan Agama, sebab Agama itu hanja membuat ‘cekcok’ saja. Oleh sebab itu, untuk menghindarkan percekcokan² itu, maka mata pelajaran Agama pada sekolah² tersebut ditukar saja dengan moral Pancasila (apapun yang dimaksud dengan istilah baru ini!). Yang mempunyai pikiran yang demikian, adalah orang berniat baik² juga, yaitu supaya bangsa kita hidup rukun damai, jangan selalu ‘cekcok’. Oleh sebab Agama itu selalu menimbulkan percekcokan, kata mereka itu, maka Agama itu tidak usah lagi diajarkan kepada anak² kita disekolah². Apakah akibat cara berpikir yang demikian? Akibat yang demikian akan jatuh sampai kepada relativitas daripada nilai², dan akhirnya akan sampai pula kelak kepada satu pernilaian yang tidak bersumber pada nilai² yang absolut itu, yang sama sekali menjauhkan dasar² keagamaan. Kalau Agama sudah dikeluarkan dari pengajaran dan pendidikan, ditukar dengan nilai² yang tidak berurat berakar ke bawah, yang tidak berlandaskan keimanan dan kepercayaan, maka hal itu cuma merupakan susunan rumusan kata² yang tidak mempunyai tafsir apa-apa.”
Lebih jauh, Natsir justru memberi penekanan pada Islam, hubungannya dengan Pancasila. Dengan kalimat singkat yang jelas, Natsir menyebut bahwa, Pancasila akan tumbuh subur di atas landasan Islam.
Baginya, “Nilai² yang tersebut dalam Pancasila itu semuanya bertemu dengan ajaran Agama². Malah dalam ajaran Agama Islam, lebih daripada lima jumlahnya, barangkali ada seribu macam. Pancasila itu akan subur hidupnya justru jika ditumbuhkan di atas landasan Agama. Jika ditanamkan dalam keimanan beragama, maka tiap² nilai dari Pancasila itu akan hidup subur dan berbuah. Nilai Ketuhanan itu berisi, mempunyai urat akar. Nilai² lainnya, apa yang dinamakan kerakyatan, perikemanusiaan, kebangsaan dan keadilan sosial, semuanya akan berisi dan menjadi barang yang baik dan membuahkan hal² yang baik pula. Tetapi, kalau dicabut dari landasan Agama, maka Sila² itu akan kering, ibarat benih yang layu, tak berdaya apa-apa.”
Itu keterkaitan terpenting Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara dan Islam sebagai agama dan tata nilai kehidupan bagi orang² yang meyakininya (Muslim) |