Minggu, Desember 7, 2025

Sudah 10 Tahun Diusulkan, Negara Tak Juga Angkat KH. Sholeh Iskandar Pahlawan Nasional, Ada Apa?

Must Read

Meski namanya sudah diabadikan menjadi jalan utama di Kota Bogor dan jejak perjuangannya diakui dalam sejarah nasional, gelar Pahlawan Nasional untuk KH. Sholeh Iskandar belum juga disematkan negara. Padahal, ulama pejuang asal Bogor yang berpangkat Mayor TNI, pendiri UIKA, Pesantren Darul Falah, dan RSI Bogor ini sudah diusulkan sejak satu dekade lalu untuk menjadi Pahlawan Nasional. Mengapa negara belum juga memberi penghormatan itu?

Opini Sosial Politik | VISIBANGSA.COM – Sudah lebih dari sepuluh tahun nama KH. Sholeh Iskandar diajukan untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Hasil penelitian sejarah telah rampung, kajian akademik dari perguruan tinggi sudah lengkap, dan rekomendasi resmi dari pemerintah daerah pun telah disampaikan ke pusat. Namun sampai hari ini, semuanya seolah menguap tanpa kepastian.

Pertanyaannya sederhana, tapi menggantung lama di benak banyak orang: apa lagi yang kurang?

Bagi warga Bogor dan sekitarnya, nama KH. Sholeh Iskandar bukan sekadar sosok ulama, melainkan simbol perjuangan dan keteladanan. Pemerintah Kota Bogor bahkan telah mengabadikan namanya sebagai nama jalan utama, tanda penghormatan dari rakyat yang mengenangnya dengan cinta. Namun penghormatan dari negara, berupa gelar Pahlawan Nasional, belum juga tiba.


Jejak Sang Ulama Pejuang

KH. Sholeh Iskandar (1922–1992) yang lahir di Pasarean, Cibungbulang, Bogor pada 22 Juni 1922 itu, tumbuh dalam keluarga santri. Dia belajar di Sekolah Rakyat dan Isamawiyah Ittihadul Islamiyah, lalu melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren besar seperti Pesantren Cantayan dan Pesantren Cangkudu, di bawah asuhan KH. Ahmad Sanusi.

Pada usia muda, semangat kebangsaannya sudah menyala. Tahun 1937, ia mendirikan organisasi pemuda Syubbanul Muslimin sebagai wadah perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Ketika Republik ini berdiri, Sholeh Iskandar bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menjabat sebagai Komandan Yon IV Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi (1947–1950) dengan pangkat terakhir Mayor. Ia memimpin langsung pasukan dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan.

Namun, selepas perang, ia memilih jalan yang berbeda — membangun bangsa lewat ilmu, iman, dan kemandirian.


Dari Tentara ke Guru Bangsa

Usai mengundurkan diri dari militer, KH. Sholeh Iskandar menyalurkan semangat perjuangannya ke dunia pendidikan. Ia mendirikan Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Pesantren Pertanian Darul Falah di Leuwiliang, dan kemudian Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor.

Pesantrennya di Leuwiliang menjadi pelopor pendidikan Islam berbasis kemandirian: para santri belajar agama sekaligus bertani, beternak, dan berwirausaha. Konsep itu jauh mendahului istilah pemberdayaan ekonomi umat yang kini sering didengungkan banyak pihak.

Tak berhenti di situ, KH. Sholeh Iskandar juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Ummah untuk membantu pelaku usaha mikro di pedesaan terbebas dari riba.


Organisator dan Arsitek Sosial

Selain di bidang pendidikan dan ekonomi, Sholeh Iskandar aktif di berbagai organisasi strategis:

  • Masyumi (Partai Islam terbesar pasca-kemerdekaan)
  • ICMI (sebagai Ketua Dewan Penasihat ICMI Bogor)
  • Yayasan Pendidikan Islam Ibnu Khaldun (sebagai Ketua Badan Pembina)

Ia juga dikenal visioner dalam pembangunan sosial. Di Desa Pasarean, Pamijahan, ia menggagas perumahan modern berbasis masyarakat — proyek yang bahkan mendapat penghargaan dari UNESCO karena dinilai berhasil menggabungkan nilai Islam, gotong royong, dan tata ruang modern.

Beliau itu bukan hanya ulama, tapi arsitek sosial. Ia membangun manusia, ekonomi, dan peradaban,” ujar MS Kaban, tokoh nasional warga Bogor.


Penghormatan yang Tertunda

Dengan jejak sejarah yang demikian lengkap — dari perlawanan bersenjata hingga pembangunan bangsa melalui pendidikan, ekonomi, dan sosial — publik wajar bertanya: mengapa negara masih menunda gelar Pahlawan Nasional untuk KH. Sholeh Iskandar?

Gelar Pahlawan Nasional bukan hadiah politik, bukan pula seremonial tahunan. Ia adalah bentuk penghormatan moral bangsa terhadap ketulusan dan pengabdian seorang warganya.

KH. Sholeh Iskandar mungkin tidak pernah mengejar gelar apa pun semasa hidup. Tapi bagi bangsa ini, pengakuan itu penting — bukan demi dirinya, melainkan demi mengingatkan kita bahwa perjuangan sejati tidak selalu memakai seragam atau berdiri di podium kekuasaan.

Kini, sudah sepuluh tahun usulan itu menunggu di meja birokrasi. Sudah waktunya negara menepati janjinya pada sejarah: memberi tempat yang layak bagi mereka yang telah mengorbankan segalanya demi Indonesia. Sejatinya gelar pahlawan juga bukan untuk memuliakan yang telah pergi — tapi untuk mengingatkan yang masih hidup, agar tidak kehilangan arah dan teladan. | Penulis Host JUST TALKS Junal Politik TV

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

SOAL PAJAK BERKEADILAN : Pemerintah Zalim Jika Abaikan Fatwa MUI

NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan mendapat sambutan hangat dari...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img