32.9 C
Jakarta
spot_img

DUKA DEMOKRASI : Setelah MK, Kini Kembali Ditorehkan MA

Published:

EDITORIAL AKHIR PEKAN | visibangsa.com – Penggalan lagu legendaris Ebiet G Ade, “…Kau sayat luka baru di atas duka lama, coba bayangkan betapa sakitnya…” secara mendalam mencerminkan ketidakstabilan emosional yang dirasakan publik dalam sepekan terakhir ini. Luka dan duka kehidupan demokrasi nyatanya kembali ditorehkan lewat putusan MA.

Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait batasan usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah jelang pilkada serentak 2024 telah menciptakan gelombang kekhawatiran baru akan keadaan demokrasi di Indonesia. Langkah ini dituding banyak pihak sebagai bagian dari agenda politik keluarga Jokowi, dengan tujuan untuk memberi jalan bagi Kaesang Pangarep, putra bungsunya, untuk maju sebagai calon gubernur.

Tudingan terhadap praktik politik dinasti keluarga Jokowi bukanlah hal baru dalam ranah politik Indonesia. Sebelumnya, suksesnya Gibran Rakabuming, kakak Kaesang, maju sebagai calon wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merubah persyaratan calon pada pilpres yang lalu, telah menimbulkan pertanyaan tentang independensi lembaga peradilan dan integritas demokrasi.

Tudingan itu tentu bisa terhapus dengan sendirinya, andai Presiden Jokowi sekarang ini “melarang dan mencegah” putra bungsunya untuk maju dalam pertarungan pilkada dimanapun. Sekali lagi, andai Presiden Jokowi mau, tentu publik akan mengapresiasi dengan keriangan dan dikenang sebagai negarawan sejati di akhir kekuasaannya.

Jika Presiden Jokowi tak berkenan, masyarakat Indonesia semakin terjebak dalam pertarungan politik yang semakin rumit dan sarat kepentingan pribadi. Keputusan-keputusan hukum yang tampaknya didasarkan pada kepentingan politik keluarga tertentu semakin merongrong fondasi demokrasi yang seharusnya melindungi kepentingan publik.

Kritik terhadap keputusan MA tidak hanya berfokus pada substansinya, tetapi juga pada proses hukum yang dianggap kurang transparan dan akuntabel. Perdebatan yang berkepanjangan tentang independensi dan integritas lembaga peradilan semakin menunjukkan ketidakstabilan sistem demokrasi Indonesia.

Kehadiran dinasti politik dalam pemerintahan tidak hanya menjadi ancaman terhadap demokrasi, tetapi juga melukai prinsip kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat. Kepentingan pribadi dan keluarga di atas kepentingan publik semakin menciderai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.

Dalam situasi ini, peran masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi sangatlah penting. Kritik konstruktif dan partisipasi aktif dalam proses politik dapat menjadi alat untuk menekan dominasi dinasti politik dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Diperlukan reformasi sistem peradilan yang lebih mendalam untuk memastikan independensi dan integritas lembaga-lembaga hukum. Reformasi ini harus bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan dan keadilan dalam sistem hukum kita.

Kebebasan berpendapat dan pers yang independen juga merupakan aspek penting dalam menjaga demokrasi yang sehat. Masyarakat harus diberi ruang untuk mengkritik dan mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara.

Demokrasi yang sejati tidak hanya tentang proses pemilihan umum, tetapi juga tentang perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat untuk membangun sistem yang adil dan inklusif bagi semua warga negara.

Kesadaran akan pentingnya demokrasi yang sehat dan kebebasan berpendapat harus terus ditingkatkan melalui pendidikan dan advokasi masyarakat. Hanya dengan kesadaran kolektif akan nilainya, kita dapat mengatasi tantangan-tantangan yang mengancam stabilitas dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia. | Hadhy Priyono – pemred visibangsa.com

Facebook Comments Box
spot_img

Related articles

Recent articles