32.7 C
Jakarta
spot_img

Banteng Yang “Terluka”

Published:

OPINI | Dr. Chazali H. Situmorang | VISIBANGSA.COM | Dari semua Ketua Umum partai politik di Republik Indonesia ini, Megawati adalah Ketua Umum Partai Politik yang bertahan paling lama memimpin Partai PDI-P. Sejak kapan? Sejak PDI bermetamorfosa menjadi PDI – Perjuangan. Puluhan tahun sejak menjelang runtuhnya Orde Baru.

PDI – P adalah partai politik yang sudah ditempah teriknya matahari, kencangnya angin putingbeliung sampai dengan “menikmati” kekuasaan.

PDI – P di bawah Kepemimpinan Megawati sudah terlatih 10 tahun menjadi oposisi semasa Presiden SBY, dan juga menikmati pemerintahan Jokowi yang juga hampir 10 tahun.

Partai politik lain yang mengikuti “gaya” PDI – P secara konsisten adalah PKS. PKS juga menikmati kekuasaan masa Presiden SBY (10 tahun) dan puasa “ kekuasaan” hampir 10 tahun di masa Jokowi.

Megawati Ketua Umum partai politik yang juga pernah menjadi Wakil Presiden setengah jalan dan Presiden setengah jalan berikut, dibalik kelembutan dan senyumannya menyimpan sikap yang tidak mudah dilunakkan baik oleh Presiden sekalipun.

Masih ingat bagaimana gencarnya Presiden SBY waktu itu ingin berbaikan dengan Megawati, bahkan dengan perantara Taufik Kiemas (Alm) suami Megawati untuk mempertemukan Megawati dengan SBY gagal total. Saat – saat itu konsolidasi partai berjalan sebagai partai di luar kekuasaan, tetapi ternyata banyak Gubernur, Bupati/Walikota yang berasal atau diusung PDI – P.

Sampai saat ini interaksi sosial dan politik Megawati dan SBY belum cair betul. Tetapi diantara anak-anak mereka Puan dan AHY mencoba untuk menyembataninya. Ternyata juga tidak mudah.

Sepertinya karakter Megawati tidak turun sepenuhnya pada Puan Maharani. Walaupun sudah diberikan panggung politik di DPR sebagai Ketua Fraksi PDI-P dan kekuasaan sebagaii Menko PMK dan saat ini Ketua DPR, belum dapat mengikuti langkah dan ketegasan sikap seperti Ibunya Megawati.

Sang Ibunda Megawati menyadari keterbatasan kemampuan dan ketegaran anakya dalam percaturan politik yang keras, terkadang kasar, dan ada yang menghalalkan segala cara, berujung tidak mencalonkan Puan Maharani sebagai Calon Presiden dari PDI – P. Jatuh pilihan pada Ganjar Pranowo loyalis partai yang sudah teruji dalam perjalanannya sebagai kader partai yang menjadi Gubernur Jawa Tengah.

Saat ini Megawati sedang kecewa berat. Sebagai banteng yang seolah terluka, karena berlawanan politik dengan kader bahkan petugas partainya sendiri yakni Joko Widodo. Kenaraham Megawati yang lebih tajam dan menusuk disampaikan oleh Sekjen PDI P Hasto Kristiyanto. Joko Widodo lari dari kebijakan partai. Tidak mendukung Ganjar, bahkan Mencalonkan Prabowo sebagai Calon Presiden dengan Calon Wakil Presiden anaknya bernama Gibran Rakabuming Raka dengan memporakporandakan MK melalui tangan iparnya yang menjadi Ketua MK.

Betapa marahnya Megawati yang dapat kita dengar dari pernyataan-pernyataan Hasto, menurut hemat saya sudah sangat tajam. Betapa tidak, Jokowi itu dirawat, dikawal dan diperjuangkan PDI – P mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI dan Presiden 2 periode. Tidak cukup sampai di situ. Anak sulungnya Gibran di dudukkan jadi Walikota Solo walaupun harus mengorbankan kader PDI – P lainnya. Demikian juga Boby Nasution jadi Walikota Medan, walaupun harus mengorbankan calon PDI – P lainnya. Luar biasa sebenarnya sayangnya Megawati kepada Jokowi. Karena penampilannya yang sederhana, “polos” wajah ndeso. Ternyata Megawati salah “pegang”.

Dengan kekuasaannya sebagai Presiden, Jokowi sepertinya ingin “menghabisi” PDI–P di Jawa Tengah. Megawati ibarat Banteng “terluka”. Melalui Hasto, berbagai langkah politik dilakukan PDI–P. Baru-baru ini kita dengar Hasto menyatakan bahwa silahkan mencalonkan diri sebagai Bupati/Walikota maupun Gubernur, pada Pilkada mendatang ini, kecuali keluarga Jokowi.

Hebatnya Megawati itu, langkah politiknya masih terkontrol. Dibiarkan Jokowi dan Gibran tidak diberhentikan sebagai anggota partai. Demikian juga Jokowi dan Gibran tidak ada kita dengar mengembalikan kartu anggota PDI – P (?). Kadernya yang menjadi anggota Kabinet ( Menteri ) yang cukup banyak tidak ditariknya.

Demikian juga Presiden Jokowi tidak memberhentikan mereka – mereka yang dari partai PDI–P. Permainan politik yang sangat menarik dan serba antagonist. Dalam situasi seperti ini yang paling “sakit gigi” adalah para Menteri dari PDI–P itu. Serba salah serba tidak enak, meriang dan panas dingin jika rapat Kabinet.

Hasto terus bergerak. Kemarin menyerahkan dokumen Amicus Curiae Megawati kepada MK, diterima oleh Sekjen MK. Banyak pihak yang “kepanasan” atas Amicus Curiae itu. Padahal itu soal biasa, namanya sahabat pengadilan, tidak perlulah “kepanasan” kepada sahabat.

Hakim MK itu adalah negarawan. Sekurang-kurangnya jika 5 orang Hakim MK memutuskan menerima atau menolak petitum Paslon 1 dan 2, ataupun Majelis Hakim itu menerbitkan Ultra Petita. Keputusan itu final dan mengikat. Meminjam istilah Margarito Kamis “ suka atau tidak suka”. Sengeta sudah berakhir tanggal 22 April 2024. Mari kita buka babak baru perjalanan demokrasi Indonesia dengan suasana damai, tenteram atau ada yang “terluka” dan terus meradang. | Penulis : Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

Facebook Comments Box
spot_img

Related articles

Recent articles