OPINI – PAKAR HUKUM KONSTITUSI | VISIBANGSA.COM – Dengan Bismillah. Kemarin amba bersua Ketua Umum Majelis Adat Budaya Pasisi (MABSI) Tuan Dr. Zahrin Piliang. Bukan pertemuan biasa. Kami bersama ‘Perahu’ dan terbius wangi ayat-ayat Gurindam Barus, yang mengalahkan aroma hawa kopi sanger Atjeh Connection di tepi magrib.
Pagi. Di pustaka saya mengunjungi lagi naskah ini: ‘Sejarah Raja-Raja Barus – Dua Naskah Dari Barus’ disunting Jane Drakard, (1988), ‘Barus Titik Nol Islam Nusantara: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan Dakwah’ karya Uky Firmansyah Rahman Hakim (UIN Sunan Kalijaga, 2019). Yang berkesan menginyam ‘Jejak Sufi Hamzah Famsuri’ (Balai Bahasa Medan).
Sufi? Ya. Dalam ‘Syaraf al Asyikin’, Hamzah Famsuri menamsil jalan ajaran sufi bagai sebuah perahu. Dan tingkatan syariat ibarat satu papan badan perahu. Jika papan badan perahu itu pecah maka perahu akan tenggelam. Muatannya lesap. Kebenaran itu ibarat barang dagangan di perahu itu. Hukum syariat ialah papan badan perahu itu.
Tersebab itu syair Hamzah Famsuri dikenali sangat sebagai: Syair Perahu. Dan, Amir Hamzah banyak terpengaruhi tinta ulama sufistik Syech Hamzah Famsuri. Maka ada paradigma: Al-Midadul Ulama dalam karya Hamzah Famsuri, ulama sastrawan sufi dengan karya paradigma berharga “langit” yang disebut setara karya Jalaluddin Rumi. Ibu Arabi. Abdul Qadir Jailani. Iqbal. Sheakerspear. Buchari al Jauhari penulis ‘Taj as-Salatin’ (mahkota raja-raja) ialah muridnya Syech Hamzah Famsuri.
Di bumi dan langit serta laut Barus, tinta ulama itu efektif. Tugas MABSI itu wasilah menghidupkan kembali “siang-malam” pelajaran ‘Perahu’ itu alahai mulia Tuan Zahrin Piliang.
“Ya Illahi ya wujudi bi’Idawam/ Ukhrujkan Hamzah daripada panvkat awam/ Peliharakan ia daripada kerja yang haram/ Supaya dapat ke Darusaalam”.
“Aho segala kita anak Adam/ Jangan lupa akan Shah Alam/ Pada bhar al dhunub jangan terkaram/ Supaya asyik siang dan malam”.
Tuan Zahring Piliang bukan sembarang Intelektual Publik-Organik yang hanya dari rahim HMI. Nasab ‘tinta intelektual’-nya jelas. Bisa saja tersebab karana sudah empat generasi menetap dan menghidupi jiwa di wilayah kilometer nol masuknya Islam di nusantara yang kini di tuliskan kembali esai ini sebagai Ayat-Ayat Langit di Barus.
Dalam lanskap sejarah yang sering kabur oleh kabut kolonialisme dan kabar tak utuh dari Timur Tengah, nama Barus berdiri seperti mercusuar tua yang nyalanya terus diintip para pencari makna.
Barus bukan sekadar titik pada peta, ia adalah jejak awal, denyut jantung pertama dari datangnya Islam ke Nusantara.
Bahkan Tuanku Lukman Sinar Basarshah-II, Sultan Negeri Serdang yang pernah Ketua Umum MABMI menyimpulkan tak pelak lagi, bahwa “Barus adalah pusat pesantren Islam tertua di Asia Tenggara dan Pasifik”, dalam karya akademiknya yang juga menyebut ulama dan sastrawan Melayu yang paling awal di dunia Melayu-Dunia Islam ialah Syekh Hamzah Famsuri, yang berpegang pada pendapat al Ghazali bahwa sufisme asalah jiwa Islam.
Sebelum Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, sebelum Palembang jadi pusat dakwah, Barus telah lebih dahulu bersujud pada kiblat yang datang dari langit.
Di sanalah, antara kapur dan ombak, ayat-ayat pertama mengendap dan menyatu dalam tanah Melayu. Bacalah penggalan bait syair:
“Peliharakan ia daripada pekerjaan yang haram/ Supaya dapat ke Darussalam”
Barus—atau dikenal pula sebagai Fansur, Fansuri, hingga Barossia oleh pelaut Romawi dan Yunani—adalah pelabuhan kuno yang disebut dalam berbagai manuskrip Arab, Persia, bahkan Cina. Dalam Geographia Ptolemy abad ke-2 Masehi, lokasi Sumatera bagian barat sudah dikenali.
Sumber-sumber seperti Kitab al-Masalik wa al-Mamalik karya Ibn Khurdadbeh (abad ke-9), dan Silsilat al-Tawarikh menyebut Fansur sebagai pusat dagang penting yang memiliki komoditas eksotik bernama kapur Barus—zat langka yang sangat berharga untuk pengawetan jenazah para bangsawan Arab dan Mesir.
Tak hanya barang dagangan, Barus menjadi dermaga pertama bagi ayat-ayat langit. Para saudagar Arab yang membawa rempah juga membawa risalah, dan pelan-pelan menyemai tauhid. Inilah kota tempat kaum Muslim pertama kemungkinan besar menetap, sebelum menyebar ke Pasai, Perlak, dan ke seantero Nusantara.
Hal ini didukung oleh pendapat Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce yang menyebut Barus sebagai “a Muslim foothold before the rise of Aceh.”
Barus, dalam benak penyair sufistik seperti Hamzah Fansuri, adalah tanah spiritual. Melalui gurindam dan syair, ia melukis wajah Barus bukan semata geografis, tetapi juga metafisis. Sebuah bait dari Hamzah Fansuri berbunyi:
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/ Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ia mulai musyahadah/ Di Fansur ia mendengar kalamullah
Barus bukan tempat yang ditinggalkan Tuhan, tapi tempat awal Tuhan ditemukan—dalam refleksi, dzikir, dan nafas spiritualitas yang pekat.
Dari tanah itulah, Gurindam Barus mengalun, bukan hanya sebagai syair, tapi sebagai kesaksian: bahwa Islam datang ke Nusantara tidak dengan pedang, tapi dengan dagang, damai, dan kata.
Gurindam Barus: Jejak Sastra Langit
Gurindam Barus yang dinisbahkan ke Hamzah Fansuri adalah campuran manis antara teologi dan kebijaksanaan lokal.
Dalam naskah-naskah lama seperti Syair Perahu, Asrar al-‘Arifin, dan Sharab al-‘Ashiqin, Hamzah menabur permenungan tasawuf Ibnu Arabi yang dibungkus dalam metafora Melayu.
Sang Syech menjadikan Barus sebagai simbol makrifat, pertemuan antara realitas empiris dan hakikat spiritual.
Sebagai contoh, salah satu gurindam berbunyi:
“Barang siapa mengenal diri
Maka mengenallah Tuhan yang sejati
Barus tempat aku memulai
Langit terbuka, jiwa pun damai”.
Gurindam ini adalah serpih-serpih naratif tasawuf yang menjadikan Barus lebih dari sekadar tempat. Ia menjadi semesta kecil: tempat manusia mencari Tuhan melalui diri sendiri.
Menurut Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara, karya-karya sufistik seperti ini berperan besar dalam menjinakkan ajaran Islam ke dalam kebudayaan lokal tanpa konfrontasi.
K3: Kapur, Kalam, dan Keabadian
Kapur Barus adalah anugerah bumi yang menyatu dengan anugerah langit: dakwah Islam. Tanah yang mengalirkan aromatik wangi ini menjadi tanah berkah.
Penulis seperti R.O. Winstedt dan Denys Lombard menyatakan bahwa keberadaan kuburan tua bergaya Islam di Barus (Tomb of Mahligai dan makam Mahbaraq) menguatkan dugaan bahwa komunitas Muslim di sini telah ada sejak abad ke-7, bahkan sebelumnya.
Dalam buku The Indianized States of Southeast Asia, George Coedès menyinggung bahwa sebelum abad ke-13, pengaruh Islam telah menjalar di pantai barat Sumatera.
Adapun Marco Polo, yang singgah di Samudra Pasai pada 1292, menyebut bahwa raja di sana telah memeluk Islam—tapi itu jauh setelah komunitas Islam di Barus sudah mapan.
Barus: Ayat-Ayat yang Terbaca Kembali
Kini ada MABSI penghimpun serpihan mutiara tinta ulama.. Barus seperti halaman buku tua yang dilipat oleh waktu. Tapi jika kita membuka lipatannya dengan cinta pada Al-Midadul Ulama. Kita menemukan ayat-ayat langit itu masih terbaca: dalam batu nisan, dalam nama kampung seperti Singkil dan Mahligai, dalam anak-anak yang mengaji di langgar kayu. Dalam kedalaman syair Perahu. Dan dalam nyanyian angin, yang mungkin masih mengalunkan gurindam lama:
“Kalau hendak mengenal Tuhan
Janganlah engkau banyak berangan
Kapur Barus bukan sekadar bahan
Tapi jejak jejak para insan”.
Majelis Pembaca. Tak hanya merengkuh Pasisi, ini lah rujukan dan sumber yang bisa ditelusuri menemui ayat-ayat langit barus:
- Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, Yale University Press.
- Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Kencana.
- George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, University of Hawaii Press.
- Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Asrar al-‘Arifin, Sharab al-‘Ashiqin.
- Ismail Hamid, Hamzah Fansuri: Suatu Pengkajian Falsafi dan Estetik, Dewan Bahasa dan Pustaka.
- R.O. Winstedt, “The Date of the Trengganu Inscription,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society.
- Situs sejarah Barus dan kompleks pemakaman Mahligai, hasil penelitian Balai Arkeologi Sumatera Utara.
Barus adalah rahim awal yang melahirkan Islam di Nusantara—dan “obat” gurindamnya, adalah lulabi langit yang tak henti dinyanyikan tanah Melayu.
Dalam setiap kapur yang mengeras di dinding waktu, tersimpan ayat yang tak lekang: bahwa Islam datang bukan hanya untuk mengatur hidup, tapi menyentuh jiwa.
“Ayat-ayat langit tak hanya turun ke tanah Arab, tapi juga ke tanah Barus. Karena Tuhan tak pernah pilih kasih dalam menurunkan cahaya-Nya.” Dengan Alhamdulillah. Tabik..! | Penulis Advokat di Jakarta, PP ISMI.