ARTS & CULTURE | your poerty – visibangsa.com – Selepas lebaran kemarin sekelompok orang yang mendaku diri sebagai aktivis (atau mantan aktivis) Reformasi ’98 berkumpul di sebuah kafe di bilangan paling gaul di Pekanbaru: Jalan Arifin Ahmad. Mereka berkumpul sebagai alumni –jika istilah ini dapat dibenarkan– pergerakan mahasiswa yang 25 tahun lalu mengharu-biru Indonesia dan melahirkan sebuah era baru yang sungguh berbeda.
Aku menyaksikan saja dari jauh–dari bawah pokok durian yang kutanam di ladangku di Duri. Ada keinginan untuk bergabung, berkumpul bersama sambil bernostalgia, tetapi situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Ada hal lain yang perlu diurus, dan sesungguhnya pertemuan sebegitu tak lagi menjadi prioritas, terutama jika engkau adalah bapak-bapak yang repot menghidupi keluarga.
Tetapi setelah seperempat abad reformasi terjadi memang sudah sepantasnya kita melakukan review, apatah lagi karena bulan Mei ini adalah juga bulan reformasi. Allahuyarham Nurcholish Madjid dahulu menyebut perlu 20 tahun untuk membakukan sebuah sistem, itu setara dengan satu generasi anak muda baru. Seperti saat ini, tiba-tiba saja aku merasa eneg sendiri. Lalu menulis puisi.
PUISI NGILU
Para aktivis 98 membuat reuni
Setelah 25 tahun tidak bertemu
Ngalor-ngidul mereka berdiskusi
Masih tetap dengan retorika dan nada tinggi
Juga idealisme absurd dengan merk Cap Kompor
Namun yang mereka dapati ternyata satu hal
: Generasi Pewaris tetiba saja sudah menjadi pejabat publik
..sedang mereka hanya kebagian jadi timses belaka
Busyet dah!
(Duri, sepuluh hari menuju Kebangkitan Nasional 2024)
Ya, busyet dah, ternyata kita tak sekeren itu. Sekian lama tahun berlalu tetap tak ada yang gemilang, tak di Jakarta atau di daerah, alumni 98 tak lebih dari pemanas mobil yang mogok. Tokoh-tokoh seumpama Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Anas Urbaningrum atau Adian Napitupulu tak kunjung naik kelas. Di partai masing-masing mereka bukanlah penentu kebijakan dan pemutus persoalan, lebih sering dipajang di TV pada sesi diskusi dan debat –yang aslinya hanya artifisial.
Nun di daerah sama saja. Sebagian berhasil jadi legislator, ada pula yang menjadi bupati, walikota atau gubernur (meski sedikit), tapi tak lebih dari segitu sahaja. Tak progresifitas yang layak dibanggakan, bukan dari jenis yang cemerlang dan terbilang. Biasa-biasa saja.
Ironinya, dewasa ini orang-orang 98 ini sudah dilangkaui oleh generasi baru yang lebih muda. Semangat mereka lebih mengena dengan konteks zaman, menggabungkan populisme dengan kekayaan dan kekuasaan. Ya, kalian tak salah baca: kekuasaan. Sebab mereka lahir dari orangtua yang pernah dan/atau masih memiliki jabatan di pemerintahan, mereka adalah generasi pewaris yang kemudian terjun ke politik.
Angkatan ’98? Mereka terlalu sibuk dengan kebanggaan semu soal kiprahnya di masa lalu. Karena DNA-nya, mereka tak pernah jauh dari politik, asyik-masyuk beraktivitas di berbagai organisasi. Skill-nya memang di situ dan harus diakui yahud, karenanya mereka akan selalu relevan. Ya, relevan untuk dilibatkan sebagai barisan pemenangan, baik untuk si orangtua maupun anaknya yang jadi pemuda 20 tahun kemudian.
Itulah oligarki yang dipermanenkan dalam banyak organisasi para ketua.
LORENGISME
Militerisme sudah kita tumbangkan
Seperempat abad yang lalu
Tapi masih menyisakan
: “Siap, Ketua!”
“Perintah, Ketua?”
saat ini. Kasihan sekali, tentaranya pergi tapi baju lorengnya masih tertinggal
di sini. Ada tentara gila, tapi lebih banyak lagi yang gila tentara
Saat engkau tertawa-tawa congkak
Di atas sana ada yang berkata
“Ketawaku lebih keras
..dan aku tawa paling akhir!”
(Duri, 020524)
Jujur saja aku pengen ketawa. Tapi ketawaku tak lagi relevan dengan kebanggaan, hanya semisal pelecehan terhadap diri sendiri. Apalagi yang harus diharapkan dari eksponen pergantian milenium lalu itu?
Zaman baru telah tiba, kata Bung Hatta, tapi mereka menemukan orang-orang yang baru. Itu kataku. Yang tua belum pensiun sementara yang baru sudah menyusul. Yang sepuh belum bersedia surut, yang abege sudah ngelunjak pengen tampil.
Yang di tengah masih harus mengopeni senior sembari memberi jalan bagi sang junior.
Busyet dah!
Mungkin kita memang sudah saatnya belajar ikhlas. Seikhlasnya pemilik anjing. Sebab kita selamanya demokratis.
IKHLAS
Ketika seekor anjing lari dari rumah
Maka pemiliknya perlu mencarinya beberapa hari
Sebab anjing adalah anjing, bahkan sekalipun dia sudah menjadi anjing
Begitulah fatsoen-nya
Atau begitulah setidaknya
Tapi takdir tidaklah rumit
Dia akan datang saat dibutuhkan
Sekalipun ladangnya luas menghijau
Dan tak seekor kupu-kupu pun terbang
Atau salak anjing yang menggonggong menjaganya
Yang terjadi pasti akan terjadi
Yang akan terjadi pasti jadi
Tertinggal sekarang engkau mau menjadi apa
Pesan moralnya, ketika seorang kakak sudah dewasa
Sang adik pun bisa dewasa, jika dia sungguh-sungguh berusaha
Engkau boleh terjatuh, tapi belum tentu terpuruk
Sebab luka tak selalu berarti duka
Trauma untuk dihadapi, bukan dihindari..
Rawa Pacet, 290224
Penulis | Ahmad A. Pahu, dahulu pemimpin mahasiswa level junior di tahun 98, kini bermastautin di Duri sebagai Petani Berkacamata dan sedang sibuk menanam durian di atas sebidang lahan bergambut penuh pacet dan lintah.