OPINI SOSIAL POLITIK | VISIBANGSA.COM – Universitas Sumatera Utara (USU) sejak lama menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera. Kampus yang berdiri pada 1952 ini bukan hanya tempat belajar, tetapi simbol intelektual, mercusuar ilmu pengetahuan, sekaligus aset strategis daerah. Namun kini, mercusuar itu goyah.
Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan di Sumut. Alih-alih hadir, beliau mangkir. Kabar ini segera menyebar, menimbulkan gelombang kegelisahan di kalangan civitas akademika, alumni, hingga masyarakat luas.
Di warung kopi Medan, di grup WhatsApp alumni, hingga di lorong-lorong kost rumah sewa mahasiswa, topik ini jadi perbincangan hangat. Pertanyaan yang muncul sederhana tapi pedih: Apakah kampus kebanggaan kita ikut tercemar oleh kasus korupsi?
Bagi mahasiswa, isu ini menimbulkan rasa malu. “Kami ingin dikenal karena prestasi akademik, bukan karena rektor mangkir dari KPK,” kata seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. Alumni pun tak kalah keras bersuara. Forum-forum alumni lintas angkatan mendesak agar USU jangan main-main dengan integritas, bahkan sebagian meminta rektor dinonaktifkan sementara.
Pemilihan Rektor dalam Bayang-Bayang Politik
Ironisnya, semua terjadi di saat USU sedang bersiap memilih rektor baru untuk periode 2026–2031. Alih-alih membicarakan visi riset, kualitas pengajaran, atau arah pengembangan kampus, isu yang mencuat justru soal mangkirnya rektor dari panggilan lembaga antirasuah.
Kekhawatiran muncul: jangan sampai pemilihan rektor terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik lokal, apalagi jika kasus hukum dibiarkan tanpa penyelesaian jelas. Jika itu terjadi, reputasi USU bisa jatuh bukan karena kualitas akademik, melainkan karena intrik.
Dampak dari krisis ini tak bisa dianggap remeh. Dalam jangka pendek, nama USU bisa tercoreng. Dalam jangka panjang, posisi USU sebagai universitas nomor satu di Sumatera bisa terancam. Kampus lain — Unand, Unhas, hingga Unsri — siap menyalip dalam hal reputasi, riset, maupun daya tarik mahasiswa baru.
Lebih dari itu, jika USU kehilangan kepercayaan publik, yang terluka bukan hanya kampus, tapi juga marwah masyarakat Sumatera Utara. Bagaimana mungkin kita bangga dengan almamater jika namanya dikaitkan dengan kasus korupsi?
Panggilan Moral untuk Semua Pihak
Kini, USU berada di persimpangan jalan. Ada dua pilihan:
- Berani menghadapi krisis dengan transparansi dan integritas — rektor memenuhi panggilan KPK, senat akademik berani tegas, mahasiswa dan alumni mengawal, pemerintah pusat memastikan proses berjalan bersih.
- Atau sebaliknya, membiarkan kasus hukum menggantung, reputasi terkikis sedikit demi sedikit, hingga USU kehilangan wibawanya sebagai mercusuar ilmu pengetahuan di luar Jawa.
Alumni, mahasiswa, dosen, bahkan masyarakat Sumatera Utara punya peran besar dalam menentukan arah itu. Karena USU bukan milik satu orang, melainkan milik kita semua.
USU adalah simbol Sumatera Utara. Jika reputasinya runtuh, maka yang dipertaruhkan adalah harga diri daerah ini. Maka jangan sampai kasus hukum seorang pemimpin menyeret seluruh institusi ke dalam lumpur.
USU harus tetap tegak, bersinar, dan menjadi kebanggaan Sumut. Tetapi untuk itu, diperlukan keberanian mengambil sikap: integritas di atas segalanya. Karena tanpa integritas, ilmu setinggi apa pun hanya akan menjadi hiasan di atas kertas. | Penulis Host JUST TALKS dari Jurnal Politik TV



