Minggu, November 16, 2025

PRESIDEN DAN KECELAKAAN SEJARAH

Must Read

OPINI SOSIAL POLITIK | VISIBANGSA.COM – Tanggal 20 Oktober 2025 mendatang ini hanya tinggal beberapa hari kedepan, genaplah sudah usia setahun Jokowi meninggalkan tampuk kekuasaannya sebagai Presiden Indonesia ke-7. Kekuasaan atas manusia, tanah dan system pemerintahan negara dan bangsa yang bernama Indonesia digenggam Jokowi selama sepuluh tahun. 10 tahun itu waktu yang efektif untuk menjadikan negara ini rusak atau maju.

Jika Pesidennya menggunakan akal sehat, takut pada Allah SWT yang Maha Kuasa, beruntunglah bangsa itu. Jika tidak, terpuruklah bangsa itu, karena kekuasaan Presiden itu hampir tidak terbatas. Apalagi jika mempersonifikasikan dirinya sebagai Raja, dengan symbol, atribut yang digunakan dalam suatu event kenegaraan atau acara keluarga besar Presiden.

Dampak itu terlihat, setelah Presiden itu turun, dan sang “Raja” menyadari itu, bahwa karena Indonesia negara Demokratis, dimana kekuasaan tertinggi itu ada ditangan rakyat. Maka upaya-upaya mengkondisikan untuk betahan 3 periode digerakkan oleh penjilat sanga “Raja”. Tidak sulit mengendus rekam jejak digital penjilat kelas kakap itu. Bahkan dalam Kabinet Pemerintah Prabowo “ternakan Mulyono” atau Termul yang sudah menjadi nomenklatur popular di media masa dan elektrolit.

Sepanjang pengamatan saya dalam perjalanan hidup Presiden, maupun mantan Presiden apalagi dalam sejarah Indonesia yang baru memiliki 7 Presiden sejak Indonesia Merdeka 80 tahun yang lalu, baru kali inilah seorang mantan Presiden (Jokowi) sepanjang tahun di media social, dan media mainstream, setiap hari dibicarakan atas buah hasil kerjaannya selama 10 than berkuasa. Saya boleh mengatakan 90 % isi muata media, mengarah pada hujatan, kemarahan, dan kegeraman terhadap Jokowi. Rasanya hal ini belum pernah dialami oleh mantan Presiden sebelumnya.

Isu yang TOP markotop, adalah status ijazah S1 Jokowi, bahkan saat ini juga diangkat status Gibran sang anak sulung yang di sim-salabim, menjadi Wakil Presiden, terinidikasi SMK/SMA tidak tamat. Gerakan untuk memakzulkan Gibran, semakin mengkristal dengan dua isyu besar Gibran, ijazah dan fufufafa.

Jika dicermati, walaupun sudah loss of power tetapi tidak loss of money. Termul seperti diberikan terus energy, amunisi, mungkin juga obat perangsang. Jika ada didepan panggung, podium, menggunakan jurus silat cina mabuk. Tidak perlu mikir, biacara ngawur, tanpa argument, tanpa fakta, dan analisis yang rasional. Yang penting tuan yang memberinya makan harus dibela. Kalau tidak, “gua kelaparan” dalam pikirannya. Hebatnya media TV membiarkan bahkan memelihara mahluk “tenggen” itu, rating naik, dan rakyat terhibur.

Sepanjang setahun ini, kalau kita lihat penampilan Jokowi jauh berbeda. Wajah lusuh, tidak terlihat sinar kebahagiaan, bicara lambat semakin lambat, tetapi tidak berdiam diri. Lemparan ucapannya juga mengundang polemic. Menuduh mereka yang mempersoalan ijazahnya bisa bertahan lama karena ada orang besar dibelakangnya.

Gejala post power sindrom, sepertinya tidak dapat diatasinya. Dikawatirkan jika keluarganya tidak “mengerem” langkahnya, akan mengalami split personality. Kondisi itu disebut juga “Dissociative Identity Disorder/DID). Jika sampai ketahap itu persoalan menjadi jelas penyelesaiannya. Jadi sulit jika yang bersangkutan tidak merasakan hal yang sama. Dan para Termul, juga sudah menjadi DID. Itu yang rumit menyelesaikannya oleh Presiden Prabowo.

Kecelakaan Sejarah
Kita jujur menyadari, bahwa dari pengamatan di masyarakat, baik elite maupun masyarakat umumnya, persoalan Jokowi memang mirip disebut dengan common endemic. Opini dimasyarakat sekarang ini “menjadikan” Jokowi sebagai common endemic, dengan kasus endemic terkait korupsi, politisasi, dan diskiriminatif. Bahkan sebagai pembohong, banyak contoh yang diungkit. Tidak import beras, mobil Esmeka, IKN, dikantong JKW ada 11.000 Triliun, PSN, Freeport, dll. Pokoknya semua kebijakan Jokowi selama 10 tahun hampir semua dilihat secara terbalik.

Kenapa disebut Kecelakaan Sejarah? Dari 7 Presiden yang pernah dimiliki Indonesia, urutan 1 sampai dengan 6, telah mencatatkan sejarah yang dibaca anak keturunan kita dengan berbagai prestasi sesuai dengan jamannya, tidaklah jelek-jelek amat.

30 tahun Soeharto berkuasa, kesalahannya coba diselesaikan di Pengadilan, tetapi karena mengalamai demensia, pengadilan tidak dilanjutkan. Tetapi jangan lupa kondisi mayarakat yang dibangunnya, stabilias yang terjaga, stok beras aman dan murah. Ketimpangan ekonomi tidak tajam. Oligarki masih takut dan tunduk pada Presiden Soeharto. Para Presien itu terukir dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kecelakaan sejarah itu terjadi di Presiden ketujuh. Sebagaian pengamat menjulukinya Presiden yang anomaly. Jika mendengar Jokowi bicara, misalnya tidak benar, sebenarnya benar. Tidak import beras, nyatanya import. Mobil esmeka sudah ribuan yang pesan, nyatanya sampai hari ini tidak terealsasi. IKN tidak pakai APBN, ternyata puluhan triliun APBN digelontorkan, KA cepat Whoosh urusan swasta, eh nyatanya APBN digelontorkan. Pokoknya banyak lagi deh.

Saya mencermati, menjadi sesuatu yang tidak aneh, jika minta Presiden Prabowo memerintahkan Kejaksaan atau KPK memeriksa Jokowi, keluarga dan kroninya sebagai sutu spiral yang terus berputar sampai keujungnya. Ujungnya adalah terbangunlah rasa adil di hati masyarakat. Jika tidak bersalah dibebaskan, jika bersalah dihukum sepadan.

Agar Prabowo, tidak termasuk yang tidak melakukan sesuatupun atas kecelakaan sejarah yang sedang terjadi saat ini, maka Prabowo harus melakukan lompatan sejarah. Memang sekarang ini Prabowo sudah melakukan lompatan tapi kecil. Mengganti Menkeu kepada Purbaya, mulai terlihat dampaknya gairah masyarakat untuk bangkit secara ekonomi. Menkop sang Termul diganti dengan Ferry Juliantono. Seorang figure yang paham Koperasi. Tapi lompatan besar itu masih diperlukan Pak Presiden. Mungkin bilangan sepuluh jari Termul anggota Kabinet, dan jangan lupa secara sembunyi atau batas-batas tertentu terbuka, akan berupaya menahan tangan bapak untuk menorehkan tanda tangan pemecatan mereka.

Hot issuses 2 hari ini, adalah tertundanya penerbitan Inpres Komite Reformasi Kepolisian, yang rencananya sudah disampaikan oleh Mensekneg Prasetyo Hadi. Merupakan dugaan keras mesin Termul masih bekerja. Tulisan M.Rizal Fadillah dengan judul Reformasi Setengah Hati dan Potensi Mati, cukup menarik untuk disimak.

Kalau saya tidak salah mencermati keinginan masyarakat, inti Reformasi Kepolisian adalah diganti Kapolri Jenderal Sigit, sebab 4 tahun sebagai Kapolri, wajah Polri benar-benar babak belur. Rosi (Kompas TV) dalam wawancara khusus dengan Kapolri, juga menyampaikan bagaimana kalau Kapolri Jenderal Sigit mengundurkan diri. Kapolri merespons, pikiran yang sama juga terlintas dalam pikirannya. Tapi direnung lebih lanjut, jika ditinggalkan dalam situasi saat ini, dinilai lari dari gelanggang persoalan. Kecuali Presiden Prabowo memberhentikannya.

Dari dialog itu, Jenderal Sigit memberikan sinyal kuat siap jika diberhentikan Presiden, tidak ada pilihan mengundurkan diri. Memang betul juga Sigit, jika diberhentikan Prabowo, para Termul tidak akan menyalahkan Pak Sigit. Persoalannya bagaimana caranya para Termul dapat menahan sekuat tenaga tangan Prabowo tidak jatuh meneken pemberhentian Jenderal Sigit. Bahkan saya mendengar dalam diskusi di masyarakat kedatangan Jokowi 4 Oktober 2025 ke Kartanegara antara lain soal Kapolri.

Harapan kita, Presiden Prabowo, punya tanggung jawab sejarah memperbaiki perjalanan Sejarah Bangsa ini kearah yang tidak keluar dari bingkai Nilai Nilai Pancasila. | Penulis Pengamat Kebijakan Publik

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

BPJS Bukan Barang Dagangan..!

Dalam seting konspiratif ala novel-novel sohor Pak John Grisham, ancaman hukum jarang datang dari gedung pengadilan. Tapi sering datang...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img