Opini Pakar Kebijakan Publik | VISIBANGSA.COM – Kebijakan publik merupakan hak mutlak negara. Dalam melaksanakan tugasnya itu, negara menerbitkan Konstitusi, sebagai instrumen hukum untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah dipimpin oleh seorang Presiden (Presidential System) yang disebut juga Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara.
Jokowi sebagai Presiden Indonesia ke-7, menyadari perannya itu. Maka itu nafsu syahwatnnya dibungkus dengan casing Peraturan Presiden dan/atau Keputusan Presiden. Ingat IKN, PSN, Whoosh, dan proyek strategis lainya. Bahkan ada yang dibentengi dengan UU, yakni IKN, yang sampai saat ini potensi untuk berjalan dengan terseok-seok.
Bahkan PSN sudah memakan korban kerusakan lingkungan, menggusur rakyat, dan menjadi lahan subur bagi oligarki. Kasus pagar laut, PIK-2 bukti nyata bagaimana “kebusukan” oligarki dibungkus dengan casing Kebijakan Presiden dalam bentuk PSN yang secara aspek hukum dibentengi dengan Keputusan / Peraturan Presiden, bahkan jika perlu dengan Peraturan Pemerintah.
Jokowi selama 10 tahun, dengan kekuasan penuh; Polri, Kajagung, KPK, Ketua-Ketua Partai secara orkestrasi kompak dikendalikan oleh Mulyono. Itu kenyataan. Atas nama regulasi Jokowi mengatur segala galanya. Perubahan Konstitusi saja yang tidak dapat dijebol. Jika Konstitusi jebol, jadilah Jokowi sebagai Raja bukan Presiden. Bahlil sebagai termul sudah mengikrarkan itu dihadapan para kader Partai, saat naik jadi Ketua Partai.
Dari berbagai kasus yang terkuak di masyarakat, kasus Chrombook, kasus Pertamina, kasus Tambang, kasus Whoosh, ujung-ujungnya bermuara kepada Jokowi sebagai pembuat kebijakan yang sesat. Memang kekuasaan itu ibarat candu. Karena mabuk kekuasan dan sakau hendak berkuasa 3 periode melampui konstitusi, akhirnya jatuh kecomberan.
Bagi Jokowi, buah kebijakannya yang menyengsarakan rakyat, memporak porandakan demokrasi, yang menempatkan penegak hukum menjadi centeng dan melindunginya, setelah habis kekuasaan dan jadi rakyat biasa. Ternyata rakyat yang hatinya sudah terluka, tidak lupa atas keserakahannya, melemparkan Mulyono ke comberan.
Para termul, cari selamat diri, dengan sisa-sisa pengaruhnya Jokowi mendorong sebanyak – banyaknya para termul, yang masuk dalam kelompok Geng SOP duduk dalam Pemerintahan Presiden baru bernama Prabowo. Satu persatu para termul yang bergelantung di ketiak Prabowo mulai tidak tahan dan ketakutan. Sudah beberapa Menteri yang dipecat Prabowo secara halus, menjaga perasaan Jokowi supaya tidak jatuh sakit.
Dampak dari penyimpangan kebijakan yang dilakukan Jokowi itu, saat ini sudah pada fase Indonesia akan bangkrut. Bayangkan utang pemerintan yang dilakukan Jokowi, sudah menyedot 30% dari APBN Negara ini. APBN kita saat ini sekitar 3.500 triliun, dan lebih dari 1.000 triliun untuk bayar cicilan utang dan bunganya. Tipu menipu atas nama Negara dan Pemerintah oleh Jokowi begitu mudah meluncur dari mulutnya yang penuh dengan kebohongan.
Sudah setahun Jokowi turun dari kekuasaannya sebagai Presiden. Lihatlah wajahnya, penampilannya. Bahkan disinyalir menderita penyakit kulit. Hidupnya tidak tenang diburu para RRT (Roy Suryo, Rismon dan Tifa), yang bagi orang beriman dan percaya pada kekuasaan Allah memang diturunkan untuk memburu Jokowi sampai ke penjara.
Sepertinya azab Allah, atas doa rakyat yang teraniaya sudah mulai dirasakan Mulyono. RRT bukan memburunya karena kasus korupsi. Itu ada kelompok masyarakat lain yang memburunya. Jokowi diburu kasus ijazah palsu. Bahkan merembet ke anaknya Gibran yang menjadi Wakil Presiden tidak memenuhi syarat karena tidak tamat SMK/SMA. Modalnya surat keterangan kesetaraan dari Dikdasmen yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Suara rakyat semakin kencang belakangan ini, untuk menuntut Jokowi diadili dengan tuduhan korupsi dan penyimpangan kebijakan, dan memakzulkan Gibran sebagai Wakil Presiden karena manipulasi dokumen statusnya yang tidak pernah tamat SMA/SMK. Yang paling dirasakan memang rendahnya kemampuannya dalam menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden.
Bagi Prabowo sebenarnya tidak sulit untuk meminta Jaksa Agung dan KPK memeriksa Jokowi. Tetapi sebelum itu dilakukan, mungkin Prabowo ingin memperpanjang irama permainan. Mungkin menunggu Jokowi tersungkur dan bersujud di kaki Prabowo. Mungkin juga dengan sekalian mengangkut kepenjara para termul yang berada di Kabinet dan terbongkar semua kebusukannya. Entahlah, hanya Bowo yang tahu.
Gerakan Purbaya sebagai Menkeu sepertinya satu persatu dan tentunya atas sepengetahuan Presiden Prabowo, mulai membuka kotak Pandora, membongkar kebusukan di tubuh Pemerintah yang saat ini masih banyak berselancar para termul.
Beberapa Menteri termul yang namanya terseret dengan kasus Chrombook, whoosh, Pertamina,Tambang, Kelapa Sawit (CPO), Jemaah Haji, jangan lagi berlagak bego. Secara gagah perkasa menghadap Prabowo mengajukan surat pengunduran diri, minta berhenti. Alasan bisa macam-macam. Sudah uzur, ingin istirahat, memomong cucu, ingin menjadi petani, mau mengurus keluarga, apapun itu. Tunjukkan seolah alasannya logis.
Untuk menunjukkan tidak terkesan meninggalkan gelanggang buat pernyataan di media “jika ada perkara hukum terkait kebijakan yang menjadi tanggung jawab saya, siap dipanggil Aparat Penegak Hukum”.
Kalau hal tersebut tidak terjadi, tapi rekam jejak digital “kelakuan” termul itu terbuka lebar, sikat saja Pak Bowo. Jika tidak, rakyat akan marah pada pemerintah Prabowo. Ingat Presiden Prabowo sering menyatakan “saya siap mati untuk kepentingan rakyat”.
Kini saat nya eksekusi tidak dengan omon-omon lagi. Sudah setahun Pak Presiden. Sudah waktunya..! | Penulis Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP UNAS



