Minggu, November 16, 2025

Langkah Berani Purbaya

Must Read

Opini Pakar Hukum | VISIBANGSA.COM – Di negeri ini, uang bukan sekadar angka di layar komputer kantor perbendaharaan. Menurut ajaran hukum, keuangan negara adalah kedaulatan rakyat. Keuangan negara adalah napas hidup rakyat yang dipungut dalam bentuk pajak, lalu dihembuskan kembali lewat kebijakan publik. Jangan ada sekatan, pun gangguan pernafasan, resikonya tinggi dan riskan.

Maka dan maka ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan nada tegas-lugas menolak agar kereta cepat Whoosh ditanggung APBN, Purbaya tidak sekadar menolak proyek dibebani negara. Namun sedang menunjukkan langkah berani menegakkan sebuah prinsip: bahwa keuangan negara bukan untuk menutup kelalaian bisnis swasta, melainkan untuk menjaga wibawa kedaulatan rakyat. Purbaya menegakkan supremasi keuangan negara ialah kedaulatan rakyat.

Inilah jejak Purbaya yang berani meruntuhkan tradisi lama yang sunyi dari rezim ke rezim.

Pertama: Tradisi baru, keuangan negara kudu terbuka, informasi simetris, bukan kebijakan sunyi-tersembunyi.

Langkah Menkeu Purbaya yang mengumumkan sikapnya secara terbuka soal Whoosh ke publik—bukan dalam ruang sunyi rapat tertutup—adalah preseden yang menyehatkan. Dan, menaikkan public trust. Yang menghidupkan kembali ruh konstitusi fiskal: bahwa APBN adalah milik rakyat, bukan rahasia mahal penguasa.

Dulu, kasus-kasus besar seperti bailout bank, pembiayaan BUMN, hingga IKN kerap dibungkus dalam retorika “kepentingan nasional”, padahal rakyat tidak tahu siapa sebenarnya yang diuntungkan. Rakyat tidak diajak bicara. Tanpa meaningfull participation.

Kini, penolakan terbuka terhadap pembebanan proyek Whoosh ke APBN menjadi alarm kebangkitan moral—transparansi APBN dan lenggunaannya ‘abc-xyz’ adalah hak konstitusional rakyat.

Kedua: Cegah dana mengendap, karena negara membayar bunga dan biaya.

Di sisi lain, ada ironi besar: dana pemerintah mengendap di perbankan hingga Rp285 triliun. Dana program makan bergizi gratis dan dana APBD yang tak terserap juga disebutnya terbuka masih menumpuk. Tak mengalir. Belum terserap. Sementara itu, negara tetap membayar bunga utang dari uang rakyat. Uang yang berbiaya uang.

Artinya, uang rakyat tidur di rekening, tapi rakyat terjaga karena lapar dan hutang. Keadaan yang paradoks harus diakhiri. Jika dan jika Purbaya berani menolak beban Whoosh ditanggung APBN, maka langkah berikutnya adalah membuka peta besar ke mana aliran dana negara mengendap dan siapa yang diuntungkan dari “diamnya” uang itu.

Ketiga: IKN dan pola lama, janji swasta, realita beban negara

Ingat IKN? Dulu dijanjikan bakal menjadi ladang investasi swasta. Namun faktanya, sebagian besar modal tetap bersumber dari kantong negara. Pola lama kembali berulang: negara menanggung risiko, swasta memanen hasil.

Sikap berani Purbaya dalam kata dan kebijakan, dalam konteks ini, bisa dibaca sebagai reformasi diam-diam yang nyata dalam politik fiskal. Dia menolak menormalisasi penyelamatan proyek atas nama kebanggaan nasional, tetapi mengorbankan transparansi publik.

Keempat: Keuangan negara bukan sekadar neraca, tapi cermin etika bernegara.

Dalam konteks keterbukaan informasi atas keuangan negara, bahwa “Kekayaan bukan untuk disembunyikan, tapi untuk memberi terang bagi yang gelap.”
Begitu pula informasi publik ikhwal keuangan negara bukan rahasia yang hanya diketahui segelintir elite di ruang AC, melainkan catatan terbuka yang bisa dibaca rakyat di warung kopi.

Karena dari situlah kepercayaan lahir: ketika rakyat tahu ke mana pajaknya mengalir, maka rakyat akan rela membayar bahkan bayar lebih. Yang bukan karena takut, tapi karena percaya. Public trust.

Kelima: Menkeu Purbaya dan paradigma baru kedaulatan fiskal

Menkeu Purbaya sedang membuka bab baru, bahwa transparansi bukan ancaman, tapi fondasi legitimasi. Lannkahnya tegak lurus tunggal ke Presiden.

Langkah berani Purbaya mengedukasi publik untuk kembali berpikir—siapa yang seharusnya menanggung proyek raksasa, siapa yang harus bertanggung jawab atas uang rakyat yang tidur di bank, dan siapa yang sebenarnya bekerja untuk siapa.

Jika arah kebijakan keuangan negara yang begini diteruskan, maka yang lahir bukan hanya Menteri Keuangan yang tegas, tapi tradisi fiskal yang bermartabat.

Maka dan maka, kebijakan keuangan negara harus seperti sidang terbuka pengadilan yang jujur-merdeka-impartial —ada fakta, ada saksi, dan ada pertanggungjawaban. Karena setiap helai rupiah adalah kesaksian rakyat atas pemerintahnya.

Menkeu Purbaya, dengan langkah beraninya, telah membunyikan lonceng gerakan transparansi itu. Kini tinggal publik memastikan lonceng itu tidak diredam oleh birokrasi yang takut pada terang. Tabik | Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

BPJS Bukan Barang Dagangan..!

Dalam seting konspiratif ala novel-novel sohor Pak John Grisham, ancaman hukum jarang datang dari gedung pengadilan. Tapi sering datang...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img