Minggu, Desember 7, 2025

ILUSI RUU PERAMPASAN ASET: Kaburkan Penyitaan Rp.11 Ribu Triliun Uang Haram Oligarki di Swiss?

Must Read

NEWS & TALK | VISIBANGSA.COM – Di layar kaca, obrolan yang awalnya datar mendadak memanas. Kata demi kata yang keluar dari para narasumber terasa menusuk jantung isu nasional: RUU Perampasan Aset. Publik barangkali berharap rancangan ini akan jadi tombak pamungkas untuk memburu harta para koruptor, tetapi dalam diskusi JUST TALKS (justice talk show) Jurnal Politik TV, edisi Jumat (26/09-2025) pandangan berbeda justru menyeruak.

“Ini ilusi,” ujar Salamuddin Daeng, ekonom politik yang dikenal lugas. Baginya, RUU itu lebih mirip kabut tebal yang menutupi peluang nyata menyita dana haram Rp11.000 triliun milik oligarki yang konon bersembunyi di Swiss. UU Mutual Legal Assistance (MLA) sebenarnya sudah menyediakan jalur cepat, tetapi mengapa jalan pintas itu tak ditempuh?

Muhammad Joni, pakar hukum konstitusi, menimpali dengan nada waspada. Ia mengingatkan, setiap pasal dalam RUU ini justru bisa membuka ruang tafsir yang melemahkan penegakan hukum. Sementara itu, MS Kaban, pengamat politik yang lama berkecimpung di panggung nasional, menggarisbawahi motif politik di balik rancangan. Menurutnya, isu RUU lebih berpotensi mengacaukan stabilitas ketimbang menguatkan agenda pemberantasan korupsi.

Di tengah publik yang haus akan tindakan tegas terhadap para penjahat keuangan, wacana ini menguap seperti drama tanpa akhir. Rakyat hanya bisa bertanya: apakah negara sungguh-sungguh mengejar aset hasil kejahatan, atau justru sibuk menggelar ilusi hukum yang menjauhkan kita dari pengembalian uang rakyat?

Diskusi malam itu seolah membuka kotak Pandora. Publik yang semula melihat RUU Perampasan Aset sebagai kabar baik, kini justru disuguhi sederet keraguan. Salamuddin Daeng mengawali dengan data mencengangkan: ada sekitar Rp11.000 triliun uang haram hasil praktik kejahatan keuangan yang parkir di Swiss. “Kalau pemerintah serius, UU MLA sudah cukup untuk menyita. Tidak perlu menunggu RUU baru yang justru bisa memperlambat,” tegasnya.

Pernyataan itu menggema, menohok logika sederhana: mengapa membuat aturan baru, bila aturan lama yang lebih cepat dan kuat justru diabaikan? Muhammad Joni kemudian mengurai sisi konstitusional. Ia menyoroti bagaimana draf RUU berpotensi menabrak prinsip kepastian hukum. “RUU ini berbahaya bila dijadikan instrumen politik. Alih-alih menjerat aset koruptor, ia bisa berubah jadi alat kekuasaan yang lentur dan rawan disalahgunakan,” ujarnya.

MS Kaban membawa diskusi ke ranah politik praktis. Ia menilai, wacana RUU tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan sarat dengan kepentingan. Menurutnya, terlalu banyak energi dihabiskan untuk debat politik, sementara fokus utama—mengembalikan uang rakyat—terlupakan. “Yang terjadi sekarang, RUU ini justru berpotensi mengacaukan situasi politik dan ekonomi, bukannya menguatkan perang melawan korupsi,” katanya lugas.

Kontradiksi itu mempertegas jurang antara harapan publik dan kenyataan politik. Rakyat ingin keadilan cepat ditegakkan, aset haram segera kembali ke kas negara, dan koruptor kelas kakap diadili tanpa kompromi. Namun, alih-alih langkah pasti, yang tersaji adalah polemik tak berkesudahan: aturan baru yang penuh ilusi.

Pada akhirnya, diskusi JUST TALKS itu meninggalkan satu pertanyaan menggantung: apakah RUU Perampasan Aset benar-benar solusi, atau sekadar tirai asap yang menutupi jalan terang menuju penyitaan uang haram di Swiss? Publik menanti, sambil berharap negara tidak lagi mempermainkan kesabaran rakyat dengan fatamorgana hukum. | red.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

SOAL PAJAK BERKEADILAN : Pemerintah Zalim Jika Abaikan Fatwa MUI

NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan mendapat sambutan hangat dari...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img