Minggu, Desember 7, 2025

HASIM PURBA SANG PROFESOR STONE ROSE : Pemberani, Hidup dari Titik Nol

Must Read

OPINI AHLI HUKUM | VISIBANGSA.COM – Tak semua orang melaju dengan karpet merah terbentang di depan langkah. Hasim Purba justru lahir di jalan cadas, “tanah” kehidupan yang keras, gersang, penuh batu tajam—yang hanya bisa ditembus hanya oleh satu hal ini: tekad baja.

Anak Parbutaran, lahir 3 Maret 1966, Hasim Purba tumbuh di sela “gunung” yang kering, namun justru di sanalah akar keberanian tertanam, pemihakan kaum lemah bersemayam.

Dari titik nol, ia menempuh jalan berliku: belajar, bekerja, bergaul, berjuang, hingga berdiri di puncak karier akademis sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara (USU). Kampus yang berjanji menjadi ‘Pengabdi Bangsa’, begitu credo dari sepenggal lirik Mars USU.

Kala itu tahun 1985. Ya, ketika ribuan anak muda berebut kursi kuliah lewat Sistem Penerimaan Mahaaiswa Baru (Sipenmaru), Hasim melangkah lewat jalan masuk bebas tes: PMDK. Dari SMA 3 Pematang Siantar, ia masuk Fakultas Hukum USU tanpa ujian tulis—sebuah tiket emas prestasi, tapi juga awal tanggung jawab besar diberi.

Ia bukan hanya mahasiswa rajin yang larut dalam buku, catatan kuliah rapi dan lengkap, melainkan kader kental Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), aktivis tahan banting yang hidup keras, maka pantas menyabet beasiswa.

Tahukan pembaca, di masanya dia pernah jadi pemimpin “telly” di kerasnya pelabuhan Belawan. Melompat dari kapal ke truk, menghitung muatan di tengah hembusan hawa asin laut dan keringat buruh. Dari dermaga hidup itulah ia belajar bahwa hukum tak boleh berhenti di pasal, hukum harus mengalir di nadi rakyat.

Dari sana dia diutus menjalankan misi tulus menjaga kejujuran menghitung karung beras turun dari kapal ke truk angkut, memastikan masuk ke gudang di pelabuhan.

Ini ulasan ikhwal titik melompat. Pertemuannya dengan Prof. Hasnil Basri Siregar, SH., dia dosen yang kemudian menjabat Dekan Fakultas Hukum dan Guru Besar USU, sekaligus pengusaha angkutan ternama—adalah titik melompatnya.

Berkat keuletan, tulus dan totalitasnya, Hasim Purba menjadi tangan kanan, bukan sekadar asisten. Dari Prof. Hasnil pula ia mendapat hangatnya “kompor” keberanian untuk maju tak gentar menikahi Junita Sari Hasibuan, kader HMI, Ketua Korp HMI Wati yang alumni FISIP USU. “Hidup ini bukan untuk penunggu senja, Sim, tapi untuk pelompat,” begitu kekira pesan gurunya itu tulus berdedikasi.

Dari sanalah ia belajar: keberanian pribadi adalah bagian dari keberanian hidup. Dia merasakan menjadi transformer awal, debut dari berlikunya tikungan tajam bernama takdir.

Pendidikan akademik S1-S2-S3, semua dari USU. Dia menempuh semua jenjang akademik di “tanah air” akademik yang sama: USU.

Dari sarjana, magister, hingga doktor, ia tak pernah meninggalkan tanah kelahiran akademiknya. Disertasi doktoralnya tentang seluk beluk pertanggungjawaban perdata produsen juncto maskapai pesawat udara. Yang bukan sekadar kajian produk hukum, tapi panggilan hati agar hukum kudu menyelamatkan nyawa manusia, pun di ruang angkasa 3.000 kaki jelajah pesawat udara .

Bukan dengan pesawat udara, usai pengukuhan menjadi Guru Besar, dia diarak pulang dengan beca dayung. Bulan Februari 2016, USU mengukuhkan dua Guru Besar ilmu hukum, salah satunya Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum.

Orasi ilmiahnya berjudul “Mewujudkan Keselamatan Penerbangan dengan Membangun Kesadaran Hukum bagi Penerapan Safety Culture”—sebuah seruan bahwa hukum tak boleh berhenti pada catatan kasus, tapi harus mencegah tragedi pesawat udara yang banyak aspek hukumnya.

Oh ya, aturan kita acap abai dan lunglai membela hak perdata dan asuransi global setiap penumpang dan kru yang terbang. Jangan pula lawyer USA masih jaya berkuasa, walau kasus crash pesawat jatuh di lautan pulau seribu di depan serambi Jakarta.

Usai orasi, adik-adik dan koleganya ambil inisiatof mengaraknya naik beca dayung ke rumah dinas di kawasan kampus USU. Bukan mobil mewah, melainkan beca rakyat yang berhias. Pemandangan itu lebih indah dari pesta seribu cahaya: Guru Besar hukum diarak oleh rakyat, untuk rakyat.

Di kepalanya bergema mars USU: Mengabdi pada bangsa, berjasa untuk nusa, USU rumah kita, ilmu sulung jaya.

Dan ia memang menjelma mars itu—ilmu yang sulung, jaya, tapi tetap rendah hati mengabdi pada bangsa.

Hasim Purba bukan hanya profesor. Pun, aktivis sosial, dipilih langsung menjadi Ketua KAHMI Medan lewat demokrasi yang sengit tapi asyik dalam tradisi satu keluarga “hijau-hitam”. Dia berlaga dengan Dr. dr. Delyuzar Haris, kini Wakil Dekan 1 Fakultas Kedokteran USU. Saya ikut merasakan denyut perhelatan demokrasi unik a la KAHMI Medan itu lekat duduk ontok dari sebelahnya.

Juga, Prof Hasim maju menjadi pembela mereka yang tak berdaya. Atas nama Tim Hukum KAHMI Medan membela Himma, dosen USU yang dituduh ujaran kebencian. Suhu politik saat itu tinggi. Dari PN Medan hingga Mahkamah Agung yang akhirnya menjatuhkan putusan bebas murni. Padahal sang dosen ilmu bahasa USU itu bukan anggota KAHMI.

Mengapa? “Sikap keprihatinan membela korban yang teraniaya hukum”, jelas Ahmad Sandri Nasution, lawyer KAHMI Medan yang ditugaskan Prof Hasim membela dari hati tak tenang sampai bahagia-menang.

Dia juga yang merumuskan Perda No. 4 Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, demi melindungi anak-anak yang dijadikan alat sindikat. Baginya, hukum tak boleh membiarkan bayi dijadikan komoditas empati di jalan.

Dia tahu hukum harus punya wajah tulus-total: wajah anak-anak yang menangis di pelukan ibu, wajah buruh yang letih di pelabuhan, wajah rakyat kecil yang menanti pembela.

Metafora The Stone Roses
The Stone Roses—itulah metafora hidupnya. Mawar batu yang tumbuh di sela cadas keras. Itu bukan bunga lembut yang mudah layu, melainkan keindahan yang keras kepala. Tumbuh di tanah tandus. Mekar di tempat cadas nauzubillah yang terjepit tapi bisa tumbuh hidup indah. Hasim Purba adalah bunga batu itu: keras, teguh, tetapi tetap menghadirkan keindahan.

Dia hidup dengan dua credo HMI sejati: ‘Yakin Usaha Sampai’ dan ‘Bersyukur dan Ikhlas’. Dari Parbutaran ke Siantar, dari Belawan ke Medan, dari nol benar hingga guru besar— Prof.Hasim membuktikan bahwa jalan cadas pun bisa melahirkan “bunga” Pengabdi Bangsa.

Epilog Sahabat
Dan aku, Muhammad Joni, sahabatnya, menyaksikan lekat dari dekat: hidup Hasim bukan ditulis dengan tinta pena, melainkan dengan tinta keberanian. Dari titik nol, maka dia menjelma profesor. Dari dermaga keringat rakyat, ia menjelma pembela rakyat. Dari sela cadas, ia menjelma The Stone Roses.

Bagi yang belum mafhum, The Stone Roses adalah band rock alternatif Inggris, yang dibentuk di Manchester pada tahun 1983. Mereka salah satu kelompok perintis gerakan Madchester yang aktif selama akhir 1980-an dan awal 1990-an. ‘Made of Stone’ salah satu lagunya.

Mengapa memilih metafora The Stone Roses? Sederhana saja, karena realitas hidup yang aneh tapi nyata yang menggambarkan dua hal besar. Yaitu: Kekerasan dan keindahan dan cinta, sedangkan batu adalah simbol keras, beku, tak bersahabat.

Hasim Purba menyatukan keduanya: keras dalam prinsip, indah dalam pengabdian. Dan, tumbuh di tempat nyaris mustahil – mawar batu adalah bunga yang tumbuh di sela cadas, mustahil namun nyata. Itulah perjalanan Hasim: dari kampung sederhana, tanpa privilese, hingga profesor yang membela rakyat. Dari SMA 3 sampai strata S-3.

Majelis Pembaca, menurut saya esai Prof Hasim: Pemberani Hidup dari Titik Nol Sang Profesor Stone Roses, sangat tepat menjadi katalog pembelajaran berani hidup bagi jihat mahasiswa. Bahkan gizi ruhani bagi totalitas-tulus sivitas academica USU.

Walau esai ini singkat, sisi dramatis sekaligus metaforis The Stone Rose bisa panjang. Namun dicukupkan untuk mewakili seruan untuk tulus-jujur, total-tekat, dan keberanian dari nol menghela perubahan: menjadi transformer.

Dan, ini asa “probono” menebarkan energi juncto inspirasi untuk jejak keras, loyal menghela tekad, dan seni keindahan perjuangan hidup anak manusia. Modal menjaga almamater. Walau bukan “Made of Stone”, USU dibuat dan berdiri dari akal budi tinggi. Catat, USU Pengabdi Bangsa. Saya tidak sedang berfantasi!

Mari suarakan bait ‘Made of Stone’ dari The Stone of Roses berikut ini:

“Terkadang saya berfantasi/
Sometimes I fantasize

Saat jalanan dingin dan sepi/
When the streets are cold and lonely

Dan mobil-mobilnya terbakar di bawah saya/ And the cars, they burn below me

Tidakkah saat-saat ini memenuhi matamu?/ Don’t these times fill your eyes?

Saat jalanan dingin dan sepi/
When the streets are cold and lonely

Dan mobil-mobil yang mereka bakar di bawah saya/
And the cars they burn below me

Apakah kamu sendirian?/
Are you all alone?

Apakah ada orang di rumah?/
Is anybody home?

Aku berdiri hangat melawan dingin/
I’m standing warm against the cold

Sekarang kobaran api sudah mulai membesar/
Now that the flames have taken hold

Setidaknya Anda meninggalkan hidup Anda dengan penuh gaya/
At least you left your life in style”.

Tinggalkan gaya. Bangun karya: Pengabdi Bangsa! Tabik | Penulis Founder Masyarakat Konstitusi (MKI) Alumni FH USU.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

SOAL PAJAK BERKEADILAN : Pemerintah Zalim Jika Abaikan Fatwa MUI

NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan mendapat sambutan hangat dari...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img