Minggu, Desember 7, 2025

BPJS Bukan Barang Dagangan..!

Must Read

Dalam seting konspiratif ala novel-novel sohor Pak John Grisham, ancaman hukum jarang datang dari gedung pengadilan. Tapi sering datang dari balik meja, dari pejabat yang berbicara santai, dari dokumen kecil yang tampak tidak penting.

Opini Ahli Hukum | VISIBANGSA.COM | Tok—tok—tok. Ini bukan palu hakim, tetapi dentum kecil yang datang dari ruang DPR RI Komisi IX.

“Supaya BPJS fokusnya ke yang di bawah aja, BPJS enggak usah cover yang kaya deh. Karena kelas satu biarin diambil swasta,” kata Budi saat rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR RI di gedung parlemen, Jakarta pada Kamis (13/11/2025).

Ucapan itu terdengar ringan, seolah hanya usul teknokratis biasa. Tapi bagi siapa pun yang mengerti hukum konstitusi, ujaran itu adalah anak tangga pertama menuju tebing curam bernama privatisasi haka konstitusional.

Dan yang paling berbahaya, langkahnya dibungkus dengan dalih efisiensi.

Dalam setting konspiratif ala novel-novel sohor Pak John Grisham, ancaman hukum jarang datang dari gedung pengadilan. Tapi sering datang dari balik meja, dari pejabat yang berbicara santai, dari dokumen kecil yang tampak tidak penting.

Kita sedang melihat adegan itu terjadi di dunia nyata: sebuah komentar yang tampak sederhana, tapi diam-diam menggeser fondasi negara kesejahteraan.

Konstitusi: Dinding Penjaga Universalitas
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial,” lalu pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.”

Kata kuncinya jelas: setiap orang dan seluruh rakyat. Konstitusi tidak pernah membagi rakyat dalam: orang kaya boleh dikeluarkan; orang miskin disisakan; dan kelas premium diserahkan ke swasta.

Dalam sistem hukum, poin itu disebut classification without constitutional justification — pengelompokan tanpa dasar pembenar yang sah. Mutlak harus ada Legal Reason.

Menyingkirkan satu kelompok peserta dari akses jaminan sosial setara dengan memotong tangan konstitusi secara sepihak. Itu namanya diskriminasi.

Konstitusi tidak sedang menawarkan paket “BPJS for the poor only.
Yang mengatakan: jaminan sosial atas kesehatan itu wajib universal.

Maka ketika Menkes menyebut bahwa “orang kaya tak perlu di-cover” — dalih itu bukan sekadar retorika, tetapi potensi pelanggaran konstitusi yang jika dituangkan dalam kebijakan resmi, dapat digugat publik yang dirugikan.

Sistem Jaminan Sosial Nasional
SJSN dipastikan bukan pasar bebas, tetapi asas gotong royong. UU SJSN (40/2004) dan UU BPJS (24/2011) dirancang dengan satu prinsip utama: Gotong Royong!

Solidaritas, Cross subsidy universalitas. Yang sehat membantu yang sakit. Yang mampu menguatkan yang kurang mampu. Yang jarang berobat menopang yang sering masuk rumah sakit.

BPJS bukan startup kesehatan. BPJS bukan marketplace premi. BPJS bukan paket “ekonomi vs premium”.

BPJS adalah instrumen negara, bukan instrumen pasar. Menarik paksa peserta “kelas 1” keluar dari BPJS sama saja mencabut pilar terkuat gotong royong. Ketika segmen mampu diserahkan ke swasta, beban biaya peserta miskin malah meningkat.

Defisit menganga. Kemampuan cross subsidy runtuh. Alhasil ini bukan efisiensi — duhmak ini adalah: amputasi hak.

Di banyak negara, justru orang kaya pun tetap ikut sistem jaminan sosial nasional, bukan demi diri mereka sendiri, tetapi demi menjaga stabilitas sistem. Itu sebabnya konsep Universal Health Coverage (UHC) adalah universal, bukan Selective Coverage.

Red Alert: Potensi “Penyelundupan Kepentingan Korporasi”
Ini bagian yang paling “wooows”. Dalam setiap cerita korporasi-versus-negara, motif orinya tak pernah diumumkan secara terang telanjang. Tapi dicover muncul sebagai: istilah halus seperti “kombinasi manfaat”; wacana “saling melengkapi antara BPJS dan swasta”; atau manuver “kelas premium biar diambil swasta saja.”

Waspada. Waspadalah. Narasi seperti itu adalah pintu kecil-rahasia akses menuju re-dominasi asuransi swasta.

Ketika BPJS dipreteli dari segmen membayar tinggi (kelas 1), maka: premi besar pindah ke swasta; risiko tinggi tetap menjadi beban BPJS; negara menanggung beban; korporasi menikmati laba.

Itu formula klasik Cream Skimming: swasta ambil krim, BPJS dapat residu. Jika ini bukan agenda terselubung, lalu apa bung? Di seluruh dunia, ketika segmen premium dipindahkan ke swasta, efeknya satu: fragmentasi jaminan sosial.

Hak berubah menjadi komoditas. Yang punya uang dapat layanan. Yang tidak, menunggu antrian panjang. Indonesia tidak boleh menuju ke sana.

OJK Bukan Pembuat UU
Hirarki Norma Tidak Bisa Dibengkokkan. Ada pernyataan Menkes mengenai MoU atau kerja sama dengan OJK terkait integrasi layanan BPJS-asuransi swasta. Mari tegaskan dengan bahasa hukum paling telanjang: Peraturan OJK, Perpres, apalagi MoU, tidak pernah dapat membatalkan atau mengurangi norma undang-undang.

UU berada jauh di atas semua itu. Jika OJK menerbitkan aturan yang “menyingkirkan” peserta dari BPJS, itu disebut ultra vires: bertindak di luar kewenangan. Dalam negara hukum, itu cacat fatal — dan bisa langsung dibawa ke MA atau malah ke MK.

Mau gabungkan manfaat? Silakan. Tapi tidak boleh mengubah prinsip kepesertaan wajib dan universalitas tanpa revisi UU. Kalau pemerintah ingin mengubah fundamental SJSN, jalannya cuma satu: ajukan amandemen UU ke DPR. Tidak boleh menyelinap lewat celah regulasi.

Membedah Argumen Menkes
Retorika Menkes sesungguhnya menyelipkan risiko. Pernyataan bahwa “ada orang kaya yang iurannya dibayar pemerintah” menunjukkan masalah data, bukan dasar untuk mengubah sistem.

Kesalahan targeting tidak boleh dijadikan alasan memutilasi kebijakan universal. Jika data dianggap salah, maka dan maka benahi datanya. Jika subsidi tidak tepat sasaran maka dan maka audit dan koreksi dulu. Tapi jangan kemudian sontak memakainya sebagai dalih mendorong korporasi asuransi swasta masuk lebih jauh ke ruang publik jaminan sosial. Itu seperti pemadam kebakaran membakar rumah demi membunuh kecoak.

Lima Rambu Hukum
Pertama, Potensi pelanggaran konstitusi (Pasal 28H ayat (3) & 34 ayat (2)) jika BPJS dibuat eksklusif untuk “yang miskin saja.”

Kedua, Pelemahan asas gotong-royong yang menjadi inti JKN.

Ketiga, Ancaman pengalihan pasar bagi asuransi swasta (Cream Skimming).

Keempat, Pelanggaran hirarki hukum jika kebijakan hanya berbasis MoU, aturan OJK, atau regulasi teknis.

Kelima, Risiko kriminal politik: membuka celah lobi-lobi industri asuransi yang selama ini selalu mengincar segmen premium BPJS.

Dalam hukum kesehatan, motif ekonomi sering bersembunyi di balik jargon teknis.Pengalaman ruang sidang mengajarkan jurus ini: cari siapa yang paling diuntungkan, maka kau akan menemukan motif, maksud dan (bisa meneroka) arah alur ceritanya. Tiorinya economic analysis of the law.

BPJS bukan pasar bebas. Pun BPJS bukan hadiah untuk yang miskin dan tabu bagi yang kaya. BPJS adalah tanggung jawab negara, satu-satunya benteng jaminan kesehatan yang menyatukan rakyat dalam solidaritas yang sama.

Jika Menkes BGS ingin mengubahnya, substasi legislasinya kudu berubah dulu. Kalau tidak, itu namanya penyelundupan hukum.
Dan penyelundupan hukum adalah awal dari keruntuhan negara kesejahteraan.

Dalam bahasa mazhab hukum Grishamian dikatakan “Waspada, penyeludupan hukum selalu dimulai dari satu kalimat kecil yang dianggap sepele,” dan kita baru saja mendengarnya di televisi.
Tabik..! | Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Latest News

SOAL PAJAK BERKEADILAN : Pemerintah Zalim Jika Abaikan Fatwa MUI

NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pajak berkeadilan mendapat sambutan hangat dari...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img