OPINI HUKUM | VISIBANGSA.COM -Di tengah derasnya arus sejarah, Indonesia kembali menorehkan satu bab baru. Amandemen Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah disahkan. Dengan Bismillah, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, sah berdiri Kementerian Haji.
Sikap aseli opini ini, bahwa retransformasi kelembagaan itu bukan sekadar pemekaran birokrasi. Ia adalah “hijrah”: perpindahan nawaitu (niat), nilai ibadah, visi perlindungan, integritas ekosistem dan tata kelola, dan penguatan dalil a.k.a illat bermaslahat. Bukan hanya dari sekadar urusan kawalan pun pertumbuhan kuota pun menjadi misi suci besar perlindungan insan umat manusia- jiwa, harta, agama, dari aspek Maqasid al Syariah.
Dari Kuota ke Kualitas
Selama ini, penyelenggaraan haji kerap ditafsirkan dangkal dan sempit: daftar, bayar awalan, pantau jadwal, melunasi biaya penuh, menunggu antrean yang panjangnya bagai menanti tahun berangkat yang relatif lama datang.
Namun, di balik angka ratusan ribu jamaah tiap tahun, kualitas pelayanan sering terengah. Jamaah klaster lansia (lanjut usia) berdesakan, dan cenderung lebih banyak. Itu soal krusial.
Pun, petugas haji juncto tenaga kesehatan utamanya dokter yang bekerja tanpa batas perlu perlindungan utuh-menyeluruh dan terintegrasi sistem layanan di otoritas medis Saudi.
Apalagi, ketahuilah: layanan medis dan terlebih tindakan medis di luar negeri di Saudi bukan hanya soal apakah tenaga kesehatan cq tenaga medis (dokter) memiliki kompetensi medis saja. Dan, acap kali biaya ikut melambung mengikuti pasar dan kurs seperti tak terbendung “benteng” tenaga kebijakan publik.
Untung beleids perbaikan soal biaya itu mulai diketahui dan bisa diatasi serta sudah terbukti.
Eureka, era Presiden Prabowo Subianto dalam retransformasi yang nyata dan konkrit. Regulasi baru tiba yang menegaskan kemana arah baru: haji bukan hanya logistik massal, tapi politik pelayanan. Sebut saja “hijrah” tata kelola penyelenggaraan haji.
Amandemen UU itu menegaskan pemisahan penyelenggaraan dan pembiayaan. Istitho’ah — syarat kemampuan berhaji — kini dimaknai lebih luas: bukan sekadar tabungan cukup, tapi kawalan status kesehatan –semenjak mendaftar ke bank dan login ke sistem.
Tersebab itu, kesiapan mental-fisik a.k.a kesehatan sebagai faktor vital adalah istithoah (kemampuan) jamaah. Hingga perlindungan hukum jamaah dan petugas kesehatan pun dokter haji Indonesia.
Ada sisi lain yang jarang disuarakan: petugas kesehatan haji Indonesia. Mereka bekerja dalam diam, di tenda-tenda bersuhu luar panas di Mina, di lorong-lorong RS Mekkah, di tengah arus jamaah yang tak pernah berhenti. Sebagian ada juga yang gugur di tanah suci. Syahid dalam sunyi.
Kawan saya Dr. Mahesa Paranadipa Maikel menulis disertasi Perlindungan Tenaga Kesehatan Haji di kampus UIN Syarif Hidayatullah Ciputat menyingkap kenyataan yang dihadirkan ke panggalan akademis dari tabir-tabir fakta yang mungkin dianggap tak perlu, yaitu: regulasi kita kerap abai petugas kesehatan haji.
Petugas yang gugur, keluarga mereka tidak selalu terjamin hak sosial-ekonominya, dan kudu perlu penghargaan simpatik negara sering terlambat datang — atau bahkan tak pernah hadir.
Ijtihad opini ini, kudu perlu bangunan ekosistem perlindungan tenaga kesshatan hajj Indonesia di Saudi yang nota bene punya regulasi sendiri.
Walau dokter di mana pun berada adalah dokter sebagai kaum penolong (helping profession) yang terikat sumpah yang sama, juga: ilmu (knowlegde), keahlian (skills), perilaku (attitute) nan universal.
Di sini, pengelolaan haji menjadi ujian dalam bernegara. Bukan hanya mengawal ikhwal ibadah umat, tapi memastikan nyawa yang menjaga umat juga terlindungi pasti. Hak hiduo adalah hak asasi manusia juncto Maqashid al Syariah.
Bukankah Maqashid al Syariah itu menegaskan: menjaga jiwa (Hifz an-Nafs) adalah tujuan utama hukum Islam?
Hijrah Kelembagaan
Kementerian Haji adalah wujud hijrah kelembagaan. Ia hadir dengan tiga mandat utama:
Pertama: Efisiensi dan penurunan biaya — agar ongkos haji tidak terus menekan rakyat.
Kedua: Keterbukaan dan Good Governance — supaya dana umat tak menjadi pertanyaan.
Ketiga: Perlindungan menyeluruh — bagi jamaah dan petugas, terutama tenaga kesehatan.
“Hijrah” pengelenggaraan haji ini menuntut mentalitas darurat-jihat, bukan sekadar rutinitas berkantor. Kudu tak hanya ganti papan nama tanpa ganti cara kerja, jika begitu akan menjadi rumah baru dengan isi lama.
Opini ini bagai Ebang, ajakan optimis berkiprah dalam berhijrah adalah sunnah, sembari menanti bukti.
Quick Wins Kementerian Haji
Ada lima langkah cepat yang harus segera diwujudkan:
Pertama: Standarisasi Layanan Medis Haji dengan
rotasi kerja jelas, pelatihan medis dan psikologis wajib, serta kerja sama dengan otoritas Saudi Arabia untuk kesiapan darurat.
Kedua: Skema Perlindungan Hukum dan Asuransi Jiwa Petugas
Kesehatan harus ditetapkan sebagai pekerja berisiko tinggi, dengan asuransi jiwa, jaminan kesehatan, dan bantuan hukum yang nyata.
Ketiga: Digitalisasi Layanan Jamaah dan Petugas Sistem e-Health Haji yang memantau kondisi real-time, dengan tombol darurat untuk insiden, serta prediksi kesehatan berbasis big data.
Keempat: Skema Penghormatan dan Penghargaan
‘Satyalencana’ untuk petugas yang gugur, beasiswa anak, santunan keluarga, dan pengakuan publik sebagai pahlawan kemanusiaan.
Kelima: Audit Transparansi & Partisipasi Publik
Audit kinerja tahunan dipublikasikan terbuka. Agar, misalnya kebijakan sahih dan berkeadilan atas akses masuk ke kuota menjadi perhatian bersama. Jangan ada lembaga publik yang abai dan diam terbuai. Pertimbangkan pula retransformasi entitas pengawasan Haji; yang independen yang pernah ada; yang melibatkan akademisi, ormas Islam, dan organisasi profesi.
Pantun Epilog
‘Hijrah bukan sekadar perjalanan/
Bukan sekadar nama kementerian baru/
Ia amanah, ia ujian/
Apakah negara hadir, melindungi umat dan petugasnya selalu’
Presiden Prabowo Subianto kini punya momentum emas. Jika retranformasi penyelenggaraan haji ini dijalankan dengan sungguh dan tata kelola tangguh. Insya Allah dan maka dari itu Indonesia bukan hanya terbesar dalam jumlah jamaah, tapi juga terdepan dan “benchmark” dalam kualitas pelayanan. Pelayanan mulai dari niat di hati berakhlak karimah (mulia), itu sifat Allah Yang Maha Kuasa.
Karena haji adalah ibadah yang ikhiar nan akbar, sekaligus cermin sejauh mana negara hudhur menjaga rakyatnya.
Dan di titik itulah, sejarah akan mencatat: hijrah bukan sekadar perjalanan menuju Ka’bah, tapi menuju tata kelola tangguh, bijak, adil dan manusiawi.
Allahu ‘Alam. Tabik.| Penulis Kuasa Hukum dan Ketua Bidang Hukum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia/ IPHI, Ketua bidang Sospol, Hukum dan Advokasi PB ISMI – pendapat pribadi penulis



