NEWS & TALKS | VISIBANGSA.COM – Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Dr. Drs. Ali Amran Tanjung, SH, M.Hum, menyatakan dukungan penuh terhadap Fatwa MUI yang mengharamkan pemerintah memungut pajak atas konsumsi bahan pokok. Fatwa tersebut ditetapkan dalam Munas MUI ke-10 tahun 2025, yang berlangsung pada 20–23 November di Jakarta.
PBB: Pajak Sembako Membebani Masyarakat Kecil
Dr. Ali Amran—tokoh senior KAHMI sekaligus Mustasyar NU di Sumatera Utara—menegaskan bahwa PBB sejalan dengan MUI dalam menolak pajak pada kebutuhan pokok karena dianggap tidak adil dan memberatkan masyarakat kecil.
“PBB mendukung sepenuhnya fatwa MUI ini dan berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakan pajak yang lebih adil dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Sebagai Ketua PW PARMUSI Sumut, ia menegaskan bahwa pengenaan pajak pada sembako dan kebutuhan dasar lain tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial serta bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap kelompok ekonomi lemah.
Penjelasan MUI: Pajak Sembako Tidak Mencerminkan Keadilan
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menegaskan bahwa pajak idealnya hanya dibebankan kepada warga yang memiliki kemampuan finansial memadai.
“Pajak atas kebutuhan pokok tidak mencerminkan keadilan,” tegas Asrorun.
MUI juga mengusulkan bahwa batas kemampuan finansial dapat merujuk pada nisab zakat mal sebesar 85 gram emas, yang dapat dijadikan dasar penentuan ambang kewajiban pajak.
Seruan PBB: Pemerintah Harus Dengarkan Aspirasi Umat
DPP PBB mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan fatwa tersebut dalam penyusunan kebijakan nasional.
“Kami berharap pemerintah dapat mendengarkan aspirasi masyarakat dan MUI dalam membuat kebijakan pajak,” kata Dr. Ali Amran Tanjung.
PBB menilai fatwa ini berpotensi menjadi solusi perbaikan regulasi perpajakan, sekaligus mendorong peningkatan kesadaran publik mengenai pentingnya sistem pajak yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
MUI Minta Evaluasi Pajak Progresif dan PBB
Selain pajak kebutuhan pokok, MUI juga merekomendasikan pemerintah meninjau ulang pajak progresif dan sejumlah beban perpajakan lain yang dinilai memberatkan masyarakat, termasuk kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada rumah berpenghuni yang dianggap tidak layak dikenai pajak berulang.
Fatwa “Pajak Berkeadilan” ini dikeluarkan sebagai respon atas kegelisahan masyarakat akibat kebijakan perpajakan yang dinilai tidak proporsional.
“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” jelas Prof. Ni’am.
Objek Pajak Menurut Fikih: Hanya untuk Harta Produktif
Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menambahkan bahwa dalam perspektif syariat, objek pajak semestinya hanya dikenakan pada harta yang produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat), bukan kebutuhan pokok rakyat. | red



