“Untuk apa takut, aku hopeng sama beliau,” kata Presiden.
Dan rakyat pun tersenyum getir. Karena mungkin di situlah inti masalahnya: kita butuh pemimpin yang hopeng dengan rakyat, bukan hopeng dengan elite lama yang sedang menata ulang kekuasaan.
Opini Ekonomi Politik | VIBANGSAdotCOM – “Untuk apa saya takut sama beliau. Aku hopeng sama beliau, kok takut,” begitu Presiden Prabowo Subianto berrujar santai saat meresmikan pabrik petrokimia PT Lotte Chemical Indonesia di Cilegon, Kamis (6/11/2025).
Kalimat itu seolah ringan, namun langsung jadi sorotan publik. Kata hopeng — serapan dari bahasa Hokkien yang berarti teman karib atau mitra setia — tiba-tiba naik kasta menjadi istilah politik baru di negeri ini.
Tapi yang membuat publik berkerut dahi bukan soal hopeng-nya, melainkan momennya. Ucapan itu muncul tepat ketika rakyat sedang disuguhi kabar tak sedap tentang hepeng — utang jumbo proyek kereta cepat Whoosh yang kini dibebankan ke Badan Pengelola Investasi (Danantara).
Saat rakyat menunggu jawaban soal uang negara, Presiden justru bicara soal pertemanan. Ironi khas republik ini: ketika tak bisa menjelaskan hepeng, bicaralah tentang hopeng.
Bagi orang Medan, kalimat “tak ada hopeng tanpa hepeng” adalah candaan ringan biasa. Tapi di republik ini, lelucon itu terasa terlalu nyata. Hopeng (teman) dan hepeng (uang) memang sering bersetubuh telanjang dalam praktik kekuasaan.
Di balik setiap proyek strategis nasional, ada hopeng yang melobi, ada hepeng yang melicinkan jalan. Dari proyek tol laut hingga kereta cepat, dari kursi komisaris hingga jabatan menteri — semua bisa diatur selama hopeng dan hepeng berjalan beriringan.
Dalam percakapan orang Batak, ada kalimat getir tapi jujur: “Hepeng na mangatur nagaraon.” Artinya, uang yang mengatur negara.
Dan bukankah itu kini tampak gamblang?
Keputusan besar — mulai dari restrukturisasi utang luar negeri, perpanjangan proyek-proyek warisan, sampai arah kebijakan ekonomi — semuanya berbau hepeng. Rakyat hanya diberi versi “pembangunan berkelanjutan”, tapi di balik layar, hopeng-hopeng elite sibuk membagi peran dan manfaat.
Kata hopeng yang diucapkan Presiden mungkin hanya ungkapan persahabatan. Tapi dalam atmosfer politik yang dipenuhi aroma patronase dan transaksi, kata itu terdengar seperti slip of the tongue — pengakuan tanpa sadar tentang bagaimana kekuasaan bekerja.
Masalah kita bukan soal hopeng, tapi pada model kekuasaan yang menjadikan hopeng sebagai fondasi utama. Negara ini semakin menyerupai “negara sahabat”: siapa hopeng-nya, itulah yang diangkat, didukung, dan diselamatkan.
Sementara rakyat? Mereka sekadar penghias laporan tahunan. Dalam retorika disebut “pemilik kedaulatan”, tapi dalam praktik, kedaulatan mereka sudah lama digadaikan di meja hepeng.
Ketika politik dijalankan dengan prinsip “siapa kawan, dia dapat prioritas”, maka yang tersisa hanyalah demokrasi formalitas — di mana kotak suara jadi pintu masuk legitimasi bagi pesta hopeng dan hepeng di puncak kekuasaan.
“Untuk apa takut, aku hopeng sama beliau,” kata Presiden.
Dan rakyat pun tersenyum getir. Karena mungkin di situlah inti masalahnya: kita butuh pemimpin yang hopeng dengan rakyat, bukan hopeng dengan elite lama yang sedang menata ulang kekuasaan.
Selama “tak ada hopeng tanpa hepeng” masih menjadi doktrin tak tertulis di republik ini, rakyat hanya akan jadi penonton di pinggir meja — menyaksikan negara dijalankan layaknya meja dagang, di mana pertemanan adalah modal, dan uang adalah Tuhan.
Sebab di negeri ini, hepeng bukan sekadar alat tukar. Ia sudah menjadi ideologi. Dan para hopeng — merekalah yang kini menulis arah sejarah. | Penulis host JUST TALKS Jurnal Politik TV



