OPINI HUKUM & POLITIK | VISIBANGSA.COM – Di sebuah desa di pinggiran Riau, pagi itu petani sawit bernama Samsul (47) menatap kebun kecil miliknya. Dua hektar sawit itulah sumber hidupnya. Namun sejak beberapa tahun terakhir, hasil panennya makin seret. Bukan karena tanahnya rusak, melainkan karena jalan angkut tertutup pagar besi milik sebuah perusahaan besar. “Kami seperti tamu di tanah sendiri,” keluhnya.
Cerita Samsul hanyalah satu dari ribuan kisah yang menggambarkan ketimpangan penguasaan lahan sawit di Indonesia. Di satu sisi, petani kecil harus berjuang dengan keterbatasan. Di sisi lain, korporasi besar dan mafia tanah menguasai jutaan hektar, sering kali dengan dokumen yang samar, bahkan ilegal.
Kini, Presiden Prabowo Subianto menggebrak. Ia memerintahkan negara merampas 3 juta hektar kebun sawit yang terbukti dikuasai tanpa izin resmi. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, apalagi dilakukan tanpa menunggu RUU Perampasan Aset yang masih kabur fokus arahnya hendak kemana.
“Negara tidak boleh kalah. Lahan yang dikuasai ilegal harus kembali pada rakyat,” ujar Prabowo tegas.
Jejak Kegelapan di Balik Sawit
Sawit adalah komoditas strategis: penyumbang devisa terbesar, bahan baku biodiesel, hingga penggerak ekonomi desa. Namun di balik kejayaan itu, tersimpan jejak kegelapan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap jutaan hektar kebun sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Sebagian lainnya berdiri di atas lahan dengan dokumen HGU bermasalah.
Modus mafia sawit berlapis:
- Menyusup ke dalam hutan lindung, lalu menanam sawit.
- Memakai perusahaan cangkang untuk mengaburkan kepemilikan.
- Memanipulasi izin di level daerah hingga pusat.
“Praktik ini sudah lama berlangsung, merugikan negara triliunan rupiah, dan merampas hak masyarakat adat,” kata seorang aktivis lingkungan.
Tanpa Senjata Baru
Selama bertahun-tahun, pemerintah kerap berdalih tak bisa berbuat banyak tanpa UU Perampasan Aset. RUU itu diharapkan menjadi senjata pamungkas untuk melawan korupsi dan perampasan sumber daya. Namun selain karena substansi materi dan ruang lingkupnya masih buram, RUU ini hanya menjadi komoditi isu tarik-ulur politik yang membuatnya tak kunjung lahir.
Prabowo memilih jalan berbeda. Ia menggunakan hukum yang sudah ada: UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan UU Tipikor.
“Ini langkah berani. Presiden menunjukkan bahwa negara tidak boleh menunggu DPR. Instrumen hukum cukup, tinggal kemauan politik,” ujar seorang pakar hukum yang kerap muncul di salah satu channel podcast.
Perlawanan yang Mengintai
Kebijakan ini bagai dua sisi mata uang. Petani kecil seperti Samsul menyambut dengan harapan. “Kalau perusahaan besar ditertibkan, mungkin kami bisa bernapas,” katanya.
Namun dari kalangan korporasi, nada keberatan bergema. Sejumlah asosiasi industri sawit khawatir iklim investasi terguncang. “Pemerintah harus transparan, jangan sampai perusahaan yang taat aturan ikut kena imbas,” ujar seorang pengusaha.
Di balik layar, analis meyakini perlawanan mafia sawit akan berlangsung senyap. Jaringan mereka terlanjur kuat, merambah politik, birokrasi, hingga aparat penegak hukum.
Sorotan Global
Langkah Prabowo juga menarik perhatian dunia. Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative—program bersama PBB dan Bank Dunia— dipastikan akan menilai kebijakan ini sejalan dengan semangat internasional mengembalikan aset curian ke negara asalnya.
“Indonesia mengirim pesan penting: korupsi dan penjarahan aset negara tidak bisa lagi ditoleransi. Meski tanpa UU baru, pemerintah punya legitimasi moral dan hukum untuk bertindak,” sangat mungkin itu jadi catatan StAR dalam salah satu laporannya ke depan.
Taruhan Prabowo
Dengan merampas jutaan hektar sawit, Prabowo sesungguhnya sedang memasang taruhan politik besar. Jika berhasil, ia akan dikenang sebagai presiden yang menantang oligarki dan memulihkan kedaulatan tanah untuk rakyat.
Namun jika gagal, kebijakan ini bisa memicu konflik hukum panjang, guncangan ekonomi, bahkan tuduhan internasional soal ketidakpastian investasi.
Di desa kecil tempat Samsul tinggal, kabar itu tetap disambut dengan doa. “Kami hanya ingin tanah kami tidak lagi jadi permainan orang besar,” ucapnya lirih.
Dan di Jakarta, Presiden Prabowo berdiri di persimpangan sejarah: antara menjadi pahlawan yang mengembalikan tanah bangsa, atau presiden yang gagal menaklukkan mafia sawit. | Penulis Host JUST TALKS Jurnal Politik TV



